Jumat, 30 Januari 2009

ANTI HISTAMIN

Histamin
Di dalam semua organ dan jaringan tubuh terdapat histamin, suatu persenyawaan amino, yang merupakan hasil biasa dari pertukaran zat. Histamin ini dibentuk di dalam usus oleh bakteri-bakteri atau didalam jaringan-jaringan oleh enzim histidin-dekrboksilase, bertolak dari histidin (suatu asam amino) dengan mengeluarkan karbondioksidanya (proses dekarboksilasi) menjadi histamin.
Juga sinar matahari, khususnya sinar ultra violet, dapat mengakibatkan terbentuknya histamin. Hal ini merupakan sebab dari kepekaan seseorang terhadap cahaya matahari.
Histamin memiliki khasiat farmakologi yang hebat, antara lain dapat menyebabkan vasodilatasi yang kuat dari kapiler-kapiler, serentak dengan konstriksi (penciutan) dari vena-vena dan arteri-arteri, sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah perifer. Sehubungan dengan sirkulasi darah yang tidak sempurna ini, maka diuresis dihalangi. Juga permeabilitas dari kapiler-kapiler menjadi lebih tinggi, artinya lebih mudah ditembusi, sehingga cairan dan protein-protein plasma dapat mengalir ke cairan diluar sel dan menyebabkan udema. Disamping ini organ-organ yang memiliki otot-otot licin, sebagai kandungan dan saluran lambung usus, mengalami konstriksi, sehingga menimbulkan rasa nyeri, muntah-muntah, diare. Begitu pula di paru-paru terjadi konstriksi dari ranting-ranting tenggorok (bronchioli) dengan akibat nafas menjadi sesak (dyspnoe) atau timbulnya serangan asma (bronchiale).
Histamin juga mempertinggi sekresi kelenjar-kelenjar, misalnya ludah, asam dan getah lambung, air mata dan juga adrenalin. Dalam keadaan normal jumlah histamin dalam darah adalah sedikit sekali, sehingga tidak menimbulkan efek-efek tersebut diatas. Histamin yang berlebihan diuraikan oleh enzim histaminase (=diamino-oksidase) yang terdapat pada ginjal, paru-paru, selapit lendir usus, dan jaringan-jaringan lainnya.

Alergi
Bilamana suatu protein tertentu dimasukkan ke dalam aliran darah kita, maka zat asing ini mengakibatkan terbentuknya protein-protein spesifik, yang disebut “antibodies”. Apabila kemudian protein yang sama itu, yang disebut “antigen”, masuk lagi ke dalam tubuh kita maka terjadilah reaksi antara antibody dan antigen. Sebagai akibat dari reaksi ini, histamin yang berada diantara sel-sel dalam keadaan inaktif dibebaskan, mungkin dibawah pengaruh “serotonin”, suatu hormon saraf yang banyak terdapat didalam sel-sel. Dengan demikian kadar histamin dalam darah naik secara mendadak, sehingga mengakibatkan efek-efek farmakologi seperti diuraikan diatas.
Keadaan ini dinamakan “alergi” dan gejala-gejalanya berkisar dari gatal-gatal (urticaria, eczema) yang bersifat ringan hingga demam, muntah-muntah, diarrea dan “reaksi-reaksi anafilaksi” yang hebat dan mematikan (ana = tanpa, phylaxis = perlindungan; dalam arti kata, bahwa pemberian protein yang pertama meninggalkan badan tanpa perlindungan terhadap pemberian protein selanjutnya).
Dalam pada ini termasuk juga gejala hebat yang disebut “shock”, dan disebabkan antara lain oleh cedera-cedera besar dan luka-luka terbakar hebat. Shock ini diakibatkan oleh pengaruhnya histamin yang dilepaskan oleh jaringan-jaringan mati.
Pada umumnya zat-zat yang berkhasiat sebagai antigen dan dengan demikian menimbulkan sensibilisasi (sensitasi) adalah protein-protein, tetapi juga polisakarida dan lemak-lemak yang bermolekuler tinggi dapat menyebabkan alergi. Begitu pula obat-obat kimiawi dengan berat molekul rendah, kadang-kadang mempunyai kerja antigenik, misalnya alkohol, penisilin dan sulfonamida-sulfonamida. Obat-obat ini diperkirakan berlaku sebagai “hapten”, yaitu bagian dari antigen yang menentukan spesifitas imunologinya, yang setelah bersenyawa dengan suatu protein darah dapat mendorong terbentuknya “antibodies” itu.
Tiap-tiap protein dapat menimbulkan sensibilisasi, misalnya protein-protein yang dimakan (udang, ikan dan sebagainya) atau yang masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas (debu). Setelah sensibilisasi ini terjadi, maka hanya jumlah yang sangat kecil saja dari antigen spesifik yang sama, misalnya bekas-bekas protein dalam bentuk rambut hewan yang selalu ada dalam debu, dapat menimbulkan reaksi-reaksi alergi dan anafilaksi. Kini diterima oleh umum, bahwa kecenderungan akan sensibilasi adalah sifat yang turun-temurun.

Obat-obat anti-alergi
Dalam mencari obat-obat yang dapat memusnahkan atau melawan efek-efek histamin pada alergi, maka pertama-tama telah digunakan enzim histaminase yang terdapat dijaringan paru-paru, selaput lendir usus, hati dan terutama didalam plasenta. Kadar histaminase ini dalam tubuh menurun pada keadaan-keadaan alergi. Hasil pengobatan dengan enzim ini mengecewakan, karena dengan sendirinya mudah terurai.
Kemudian digunakan obat-obat simpatomimetik yang dalam khasiatnya merupakan antagonis dari histamin yang dapat dianggap sebagai suatu zat parasimpatolitik seperti asetilkolin. Ternyata bahwa obat-obat ini, yaitu efedrin, fenilpropanolamin dan terutama adrenalin manjur sekali untuk menghilangkan gejala dari reaksi-reaksi alergi dan anafilaksi.
Akhirnya baru ditemukan zat-zat antihistaminik yang sangat berguna untuk memperlunak gejala gejala alergi.

Sifat-sifat dan mekanisme kerja antihistaminika
Antihistaminika adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghindarkan efek atas tubuh dari histamin yang berlebihan, sebagaimana terdapat pada gangguan-gangguan alergi.
Bila dilihat dari rumus molekulnya, bahwa inti molekulnya adalah etilamin, yang juga terdapat dalam molekul histamin. Gugusan etilamin ini seringkali berbentuk suatu rangkaian lurus, tetapi dapat pula merupakan bagian dari suatu struktur siklik, misalnya antazolin.
Antihistaminika tidak mempunyai kegiatan-kegiatan yang tepat berlawanan dengan histamin seperti halnya dengan adrenalin dan turunan-turunannya, tetapi melakukan kegiatannya melalui persaingan substrat atau ”competitive inhibition”. Obat-obat inipun tidak menghalang-halangi pembentukan histamin pada reaksi antigen-antibody, melainkan masuknya histamin kedalam unsur-unsur penerima didalam sel (reseptor-reseptor) dirintangi dengan menduduki sendiri tempatnya itu. Dengan kata lain karena antihistaminik mengikat diri dengan reseptor-reseptor yang sebelumnya harus menerima histamin, maka zat ini dicegah untuk melaksanakan kegiatannya yang spesifik terhadap jaringan-jaringan. Dapat dianggap etilamin lah dari antihistaminika yang bersaing dengan histamin untuk sel-sel reseptor tersebut.

Penggunaan
Pada pengobatan dari berbagai gangguan alergi dan anafilaksi, antihistaminika dapat menghilangkan sebagian besar dari gejala-gejala tanpa melenyapkan sebab-sebab utamanya. Meskipun kerjanya tidak begitu lengkap dan cepat seperti adrenalin atau aminofilin, namun obat-obat antihistaminik kini banyak digunakan untuk mengobati keadaan-keadaan alergi. Misalnya pada keadaan gatal-gatal (“kaligata”), urticaria karena makanan (udang) atau obat-obat tertentu (asetosal, penisilin), dan penyakit serum (“serum sickness”) setelah suntikan dengan suatu serum asing. Juga untuk mencegah atau mengurangi reaksi-reaksi alergi, seringkali diberikan antihistaminika satu jam sebelum dilakukan penyuntikan dengan suatu antigen spesifik (misalnya serum, penisilin). Untuk mengobati penyakit asma (bronchiale), antihistaminika tidak begitu berkhasiat, karena hanya dapat meringankan saja gejala-gejalanya.
Penggunaan lainnya adalah sebagai obat anti emetik yang dapat melawan rasa mual dan muntah-muntah pada mabuk perjalanan (“motion sickness”) dan selama hamil (“morning-sickness”, hyperemesis gravidarum).
Untuk maksud ini biasanya digunakan garam klorotheofilinatnya, misalnya difenhidramin dan promethazin klorotheofilinat, yang lebih berkhasiat daripada persenyawaan-persenyawaan induknya.
Disamping peranannya dalam persaingan substrat dengan histamin, antihistaminika juga memiliki khasiat antikolinergik lemah dan kegiatan vasokonstriksi. Berdasarkan hal ini antihistaminika seringkali digunakan untuk meringankan gejala “common cold” misalnya selesma, dengan atau tanpa dikombinasi dengan analgetika. Begitupula banyak sirop batuk mengandung obat-obat ini, guna mengurangi rasa gatal di tenggorokan.
Antihistaminika juga berkhasiat terhadap vertigo (pusing-pusing) dengan jalan menekan kegiatan reseptor-reseptor saraf vestibuler di bagian dalam telinga dan merintangi kegiatan kolinergik sentral. Dalam hal ini antihistaminika yang sering digunakan adalah sinarizin, siklizin, dimenhidrinat, meklozin dan promethazin.
Antihistaminika dapat diberikan secara oral atau parenteral dengan resorpsi yang baik. Pada pemberian oral, efek mulai tampak setelah 15 - 30 menit, sedangkan pada umumnya lama kerjanya hanya lebih kurang 4 jam, terkecuali promethazin, meklizin dan buklizin, yang memiliki kerja panjang (lebih kurang 16 jam).
Khasiat dan terutama dosisnya, juga toleransi untuk obat-obat ini adalah sangat individual; suatu antihistaminika yang manjur untuk mengobati A dengan dosis kecil, mungkin sama sekali tidak ada efeknya untuk mengobati penyakit yang sama pada B.

Dosis
Pada umumnya antihistaminika diberikan oral 3 – 4 kali sehari 1 satuan dosis (tablet, kapsul). Hanya pada obat-obat yang memiliki kerja panjang (promethazin) cukup dengan 1 – 2 dosis sehari. Untuk feniramin dosisnya adalah lebih kecil, yaitu 3 - 4 kali sehari 2 - 4 mg.

Efek – sampingan
Karena antihistaminika juga memiliki khasiat menekan pada susunan saraf pusat, maka efek sampingannya yang terpenting adalah sifat menenangkan dan menidurkannya. Sifat sedatif ini adalah paling kuat pada difenhidramin dan promethazin, dan sangat ringan pada pirilamin dan klorfeniramin. Kadang-kadang terdapat stimulasi dari pusat, misalnya pada fenindamin. Guna melawan sifat-sifat ini yang seringkali tidak diinginkan pemberian antihistaminika dapat disertai suatu obat perangsang pusat, sebagai amfetamin. Kombinasi dengan obat-obat pereda dan narkotika sebaiknya dihindarkan.
Efek sampingan lainnya adalah agak ringan dan merupakan efek daripada khasiat parasimpatolitiknya yang lemah, yaitu perasaan kering di mulut dan tenggorokan, gangguan-gangguan pada saluran lambung usus, misalnya mual, sembelit dan diarrea. Pemberian antihistaminika pada waktu makan dapat mengurangi efek sampingan ini.

Perintang-perintang reseptor-reseptor – H2
Antihistaminika yang dibicarakan diatas ternyata tidak dapat melawan seluruh efek histamin, misalnya penciutan otot-otot licin dari bronchia dan usus serta dilatasi pembuluh-pembuluh perifer dirintangi olehnya, dimana efeknya berlangsung melalui jenis reseptor tertentu yang terdapat dipermukaan sel-sel efektor dari organ-organ bersangkutan yang disebut reseptor-resep[tor H1. Sedangkan efek terhadap stimulasi dari produksi asam lambung berlangsung melalui reseptor-reseptor lain, yaitu reseptor-reseptor H2 yang terdapat dalam mukosa lambung.
Penelitian-penelitian akan zat-zat yang dapat melawan efek histamin H2 tersebut telah menghasilkan penemuan suatu kelompok zat-zat baru yaitu antihistaminika reseptor-reseptor H2 atau disingkat H2- blockers seperti burimamida, metiamida dan simetidin. Zat-zat ini merupakan antagonis-antagonis persaingan dari histamin, yang memiliki afinitas besar terhadap reseptor-reseptor H2 tanpa sendirinya memiliki khasiat histamin. Dengan menduduki reseptor-reseptor tersebut, maka efek histamin dirintangi dan sekresi asam lambung dikurangi.
Dari ketiga obat baru tersebut hanya imetidin digunakan dalam praktek pada pengobatan borok-borok lambung dan usus. Obat-obat lambung burimamida kurang kuat khasiatnya dan resorpsinya dari usus buruk sedangkan metiamida diserap baik, tetapi toksis bagi darah (agranulocytosis).

Penggolongan

Antihistaminika dapat digolongkan menurut struktur kimianya sebagai berikut :
A. Persenyawaan-persenyawaan aminoalkileter (dalam rumus umum X = O) difenhidramin dan turunan-turunannya; klorfenoksamin (Systral), karbinoksamin (Rhinopront), feniltoloksamin dalam Codipront. Persenyawaan-persenyawaan ini memiliki daya kerja seperti atropin dan bekerja depresif terhadap susunan saraf pusat. Efek sampingannya: mulut kering, gangguan penglihatan dan perasaan mengantuk.
B. Persenyawaan-persenyawaan alkilendiamin (X = N) tripelenamin, antazolin, klemizol dan mepiramin. Kegiatan depresif dari persenyawaan ini terhadap susunan saraf pusat hanya lemah. Efek sampingannya: gangguan lambung usus dan perasaan lesu.
C. Persenyawaan-persenyawaan alkilamin (X = C) feniramin dan turunan-turunannya, tripolidin. Didalam kelompok antihistaminika ini terdapat zat-zat yang memiliki kegiatan merangsang maupun depresif terhadap susunan saraf pusat.
D. Persenyawaan-persenyawaan piperazin: siklizin dan turunan-turunannya, sinarizin
Pada percobaan binatang beberapa persenyawaan dari kelompok ini ternyata memiliki kegiatan teratogen, yang berkaitan dengan struktur siklis etilaminnya. Walaupun sifat teratogen ini tidak dapat dibuktikan pada manusia, namun sebaiknya obat-obat demikian tidak diberikan pada wanita hamil.

1. Difenhidramin : Benadryl (Parke Davis)
Disamping khasiat antihistaminiknya yang kuat, difenhidramin juga bersifat spasmolitik sehingga dapat digunakan pada pengobatan penyakit parkinson, dalam kombinasi dengan obat-obat lain yang khusus digunakan untuk penyakit ini.
Dosis : oral 4 kali sehari 25 - 50 mg, i.v. 10-50 mg
• Dimenhidrinat: difenhidramin-8-klorotheofilinat, Dramamin (Searle), Antimo (Phapros).
Pertama kali digunakan pada mabuk laut (“motion sickness”) dan muntah-muntah sewaktu hamil.
Dosis : oral 4 kali sehari 50 - 100 mg, i.m. 50 mg.
• Metildifenhidramin : Neo-Benodin (Brocades)
Adalah derivat, yang khasiatnya sama dengan persenyawaan induknya, tetapi sedikit lebih kuat.
Dosis : oral 3 kali sehari 20 – 40 mg.

2. Tripelenamin : Pyribenzamin (Ciba-Geigy), Azaron (Organon)
Rumus bangun dari zat ini menyerupai mepiramin, tetapi tanpa gugusan metoksil (OCH3).
Khasiatnya sama dengan difenhidramin, hanya efek sampingannya lebih sedikit.
Dosis : oral 3 kali sehari 50 - 100 mg.

3. Antazolin : fenazolin, Antistine (Ciba-Geigy)
Khasiat antihistaminiknya tidak begitu kuat seperti yang lain, tetapi kebaikannya terletak pada sifatnya yang tidak merangsang selaput lendir. Maka seringkali digunakan untuk mengobati gejala-gejala alergi pada mata dan hidung (selesma) Antistine-Pirivine, Ciba Geigy
Dosis : oral 2 – 4 kali sehari 50 - 100 mg

4. Feniramin : profenpiridamin, Avil (hoechst)
Terutama digunakan sebagai garam p-aminosalisilatnya
Dosis : oral 3 kali sehari 25 mg

* klorfenamin (klorfeniramin, Methyrit-SKF; CTM, KF; Pehaclor, Phapros) adalah derivat klor, Substitusi dari satu atom klor pada molekul feniramin meningkatkan khasiatnya 20 kali lebih kuat, tetapi derajat toksisitasnya praktis tidak berubah. Efek sampingan dari obat ini hanya sedikit dan tidak memiliki sifat menidurkan. Dosis : oral 4 kali sehari 2 – 8 mg, parenteral 5 – 10 mg.

* deksklorfeniramin (Polaramin, Schering) adalah d- isomer dari klorfeniramin (terdiri dari suatu campuran rasemis) yang terutama bertanggung jawab untuk kegiatan antihistaminiknya. Toksisitasnya dari campuran d-isomer ini tidak melebihi daripada campuran rasemiknya. Dosis : oral 3 kali sehari 2 mg.

5. Siklizin : Marezin (Burroughs Welcome)
Zat ini khusus digunakan sebagai obat mabuk perjalanan. Dosis : oral 3 kali sehari 50 mg.
* meklozin (meclizin,Suprinal)
Sifat antihistaminiknya kuat dan terutama digunakan untuk menghindarkan dan mengobati perasaan mual karena mabuk jalan dan pusing-pusing (vertigo). Mulai bekerjanya lambat, tetapi berlangsung lama (9 – 24 jam). Berhubung dengan peristiwa thalidomide, zat ini dilarang penggunaannya di Indonesia. Kerja teratogennya hingga kini belum dibuktikan.

6. Sinarizin : Cinnipirine(ACF), Stugeron (Jansen)
Adalah suatu antihistaminika dengan daya kerja lama dan sedikit saja sifat menidurkannya. Disamping ini juga memiliki sifat menghilangkan rasa pusing-pusing, maka sangat efektif pada bermacam-macam jenis vertigo (dizzines, tujuh keliling); mekanisme kerjanya belum diketahui.
Selain itu sinarizin memiliki khasiat kardiovaskuler, yakni melindungi jantung terhadap rangsangan-rangsangan iritasi dan konstriksi. Perdarahan di pembuluh-pembuluh otak dan perifer (betis, kaki, tangan) diperbaiki dengan jalan vasodilatasi, tetapi tanpa menyebabkan tachycardia dan hipertensi secara reflektoris seperti halnya dengan vasodilator-vasodilator lainnya.
Dosis : pada vertigo 1 – 3 kali sehari 25 - 50 mg, untuk memperbaiki sirkulasi: oral 3 kali sehari 75 mg
* primatour (ACF) adalah kombinasi dari sinarizin 12,5 mg dan klorsiklizin HCl 25 mg. Preparat ini adalah kombinasi dari dua antihistaminika dengan kerja yang panjang dan Singkat. Obat ini khusus digunakan terhadap mabuk jalan dan mulai kerjanya cepat, yaitu ¼ sampai ½ jam dan berlangsung cukup lama. Dosis : dewasa 1 tablet.

7. Oksomemazin : Doxergan, Toplexil (Specia)
Adalah suatu persenyawaan fenothiazin dengan khasiat antihistaminikum yang sangat kuat, tetapi toksisitasnya rendah. Penggunaan dan efek sampingannya sama seperti antihistaminika lain dari golongan fenothiazin.
Dosis : 10 – 40 mg seharinya

8. Promethazin : Phenergan (Rhodia)
Persenyawaan fenothiazin ini adalah antihistaminikum yang kuat dan memiliki kegiatan yang lama (16 jam). Memiliki kegiatan potensiasi untuk zat-zat penghalang rasa nyeri (analgetika) dan zat-zat pereda (sedativa).
Berhubung sifat menidurkannya yang kuat maka sebaiknya diberikan pada malam hari. Dosis : oral 3 kali sehari 25 – 50 mg; parenteral 25 mg lazimnya sampai 1 mg per Kg berat badan

* promethazin-8-klorotheofilinat (Avomin)
adalah turunan dari promethazin yang memiliki khasiat dan penggunaan yang sama dengan dimenhidrinat, tetapi tanpa efek menidurkan.

9. Thiazinamium : Multergan (Specia)
Disamping khasiatnya sebagai antihistaminikum juga memiliki khasiat antikolinergik yang kuat, sehingga banyak dugunakan pada asma bronchiale dengan sekresi yang berlebihan.

10. Siproheptadin : Periactin (Specia)
Persenyawaan piperidin ini adalah suatu antihistaminikum dengan khasiat antikolinergik lemah dan merupakan satu-satunya zat penambah nafsu makan tanpa khasiat hormonal.
Zat ini merupakan antagonis serotonin seperti zat dengan rumus pizotifen (Sandomigran), sehingga dianjurkan sebagai obat interval pada migrain.
Efek sampingannya : perasaan mengantuk, pusing-pusing, mual dan mulut kering. Tidak boleh diberikan pada penderita glaucoma, retensi urine dan pada wanita hamil.

11. Mebhidrolin : Incidal (Bayer)
Mengandung 50 mg zat aktif, yakni suatu antihistaminikum yang praktis tidak memiliki sifat-sifat menidurkan. Dosis : rata-rata 100 – 300 mg seharinya

Kamis, 25 Desember 2008

Penggunaan Anti-Inflamasi Non-Steroid Yang Rasional Pada Penanggulangan Nyeri Rematik

Abstrak
Rasa sakit atau nyeri sendi mengundang penderita untuk segera mengobatinya apakah dengan farmakoterapi, fisioterapi dan atau pembedahan. Pada kebanyakan penderita dengan analgetika sederhana belum mampu mengontrol rasa sakit akibat artritis. Obat anti-inflamasi non-steroid (AINS) ternyata efektif mengontrol rasa sakit akibat inflamasi rematik. Namun sediaan analgetika ini selalu memberikan efek samping yang kadangkala dapat berakibat fatal.
Efek terapi dan efek samping AINS berhubungan dengan mekanisme kerja sediaan ini pada enzim cyclooxygenase-1 (COX-1) dan cyclooxygenase-2 (COX-2) yang dibutuhkan dalam biosintesis prostaglandin. Prostaglandin sendiri merupakan sediaan pro-inflamasi, tetapi juga merupakan sediaan gastroprotektor. Oleh karena AINS dengan selektivitas menghambat COX-2, maka sediaan ini diduga bebas dari efek samping yang menakutkan pada saluran cerna. Pada kenyataannya, tidak satupun AINS dengan selektivitas penghambat COX-2 bebas dari efek samping pada saluran cerna dan berbagai efek samping lainnya diluar saluran cerna, misalnya pada sistem kardiovaskuler.
Pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik secara rasional adalah 1) AINS terdistribusi ke sinovium, 2) mula kerja AINS segera (dini), 3) masa kerja AINS lama (panjang), 4) bahan aktif AINS bukan rasemik, 5) bahan aktif AINS bukan prodrug, 6) efek samping AINS minimal, 7) memberikan interaksi yang minimal dan 8) dengan mekanisme kerja multifactor.
Pendahuluan
Rasa sakit atau nyeri sendi sering menjadi penyebab gangguan aktivitas sehari-hari penderita. Hal ini mengundang penderita untuk segera mengatasinya apakah dengan upaya farmakoterapi, fisioterapi dan atau pembedahan. Farmakoterapi berawal dengan pemberian analgetika sederhana dan edukasi. Pada kebanyakan penderita dengan analgetika sederhana belum mampu mengontrol rasa sakit akibat artritis. Anti-inflamasi non-steroid (AINS) ternyata efektif mengontrol rasa sakit akibat inflamasi rematik. Namun sediaan analgetik ini selalu memberikan efek samping yang kadangkala dapat berakibat fatal (Lelo, 2001).
Mengingat bahwa penggunaan AINS akan meningkatkan risiko iatrogenic, Tamblyn dkk (1997) mengkaji peresepan AINS yang tidak diperlukan. Grup peneliti ini menemukan bahwa gastropati akibat penggunaan AINS didiagnosa dengan tepat pada 93,4% kunjungan dan ditanggulangi dengan benar pada 77,4% kunjungan. Risiko peresepan AINS yang tidak diperlukan lebih besar bila kontraindikasi AINS tidak dikaji dengan seksama) dan risiko penanggulangan efek samping yang tak benar makin meningkat akibat masa kunjungan yang lebih singkat. Untuk melakukan terapi medikamentosa yang rasional pada penderita nyeri rematik, diperlukan pengertian ringkas tentang:
• mekanisme terjadinya nyeri rematik dan tempat kerja antinyeri
• AINS sebagai antinyeri rematik
• pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik
Mekanisme terjadinya nyeri rematik dan tempat kerja antinyeri
Nyeri timbul oleh karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif, baik perifer maupun sentral. Dalam keadaan normal, reseptor tersebut tidak aktif. Dalam keadaan patologis, misalnya inflamasi, nosiseptor menjadi sensitive bahkan hipersensitif. Adanya pencederaan jaringan akan membebaskan berbagai jenis mediator inflamasi, seperti prostaglandin, bradikinin, histamin dan sebagainya. Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan munculnya nyeri. AINS mampu menghambat sintesis prostaglandin dan sangat bermanfaat sebagai antinyeri.
Berawal dari perubahan fosfolipid menjadi asam arakidonat yang merupakan substrat bagi enzim prostaglandin endoperoxide synthase (PGHS; COX, cyclooxygenase) menjadi PGG2, dan reduksi peroxidative PGG2 menjadi PGH2. Selanjutnya sebagai bahan baku prostaglandin, endoperoxide PGH2 dirubah menjadi berbagai prostaglandin. Saat ini dikenal dua iso-enzim COX, yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 sebagai enzim "constitutive" merubah PGH2 menjadi berbagai jenis prostaglandin (PGI2, PGE2) dan tromboxan (TXA2) yang dibutuhkan dalam fungsi homeostatis. COX-2 yang terdapat di dalam sel-sel imun (macrophage dll), sel endotel pembuluh darah dan fibroblast sinovial, sangat mudah diinduksi oleh berbagai mekanisme, akan merubah PGH2 menjadi PGE2 yang berperan dalam kejadian inflamasi, nyeri dan demam. Oleh karena itu COX-2 dikenal sebagai enzim "inducible". Pada kenyataannya, baik COX-1 dan COX-2 adalah isoenzim yang dapat diinduksi (Lelo, 2001).
Sepuluh tahun yang lalu, Wittenberg dkk (1993) membuktikan bahwa dari jaringan sinovium dilepaskan berbagai eicosanoid prostaglandin E2 (PGE2), 6-keto-PGF1 alpha, leukotriene B4 (LTB4), dan LTC4, tapi bukan dari bagian rawan atau tulang sendi. Grup peneliti ini juga menemukan bahwa diclofenak dan indomethacin dapat menghambat pembebasan prostaglandin, tanpa mempengaruhi produksi leukotriene.
AINS sebagai antinyeri rematik
Sediaan AINS yang mampu menghambat sintesis mediator nyeri prostaglandin mempunyai struktur kimia yang heterogen dan berbeda di dalam farmakodinamiknya. Oleh karena itu berbagai cara telah diterapkan untuk mengelompokkan AINS, apakah menurut 1). struktur kimia, 2). tingkat keasaman dan 3). ketersediaan awalnya (pro-drug atau bukan) dan sekarang berdasarkan selektivitas hambatannya pada COX-1 dan COX-2, apakah selektif COX-1 inhibitor, non-selektif COX inhibitor, preferentially selektif COX-2 inhibitor dan sangat selektif COX-2 inhibiotr.
Khasiat suatu AINS sangat ditentukan kemampuannya menghambat sintesis prostaglandin melalui hambatan aktivitas COX. Dari penelitian Duffy dkk (2003) diketahui bahwa kadar PGE2 penderita rematik di plasma berkurang setelah pemberian diklofenak (dari 28.15 +/- 2.86 ng/mL menjadi 0.85 +/- 2.86 ng/mL setelah 4 jam pemberian) dan nimesulide (dari 24.45 +/- 2.71 ng/mL menjadi 1.74 +/- 2.71 ng/ mL setelah 2 jam pemberian) dan di cairan sinovium berkurang setelah pemberian diklofenak dan nimesulide (dari 319 +/- 89 pg/mL menjadi 235 +/- 72 pg/mL setelah 4 jam pemberian) bahkan pada pemakaian jangka lama kadar PGE2 di cairan sinovium dapat turun menjadi 61 +/- 24 pg/ mL. Aspirin dan meloxicam juga mampu menurunkan kadar prostaglandin di darah dan cairan sinovium (Jones dkk, 2002).
Dari berbagai uji klinik pada penderita osteoarthritis ditunjukkan bahwa AINS baik yang non-selektif (naproxen) maupun selektif menghambat aktivitas COX-2 (celecoxib) berkhasiat dalam mengurangi nyeri rematik (Bensen dkk, 1999). Hasil temuan yang sama dilaporkan antara rofecoxib dan ibuprofen (Ehrich dkk, 1999) serta diclofenac (Cannon dkk, 2000). Simon dkk (1999) mengkaji khasiat anti-nyeri celecoxib dan naproxen pada penderita rheumatoid arthritis. Kelompok peneliti ini menemukan bahwa kedua AINS ini efektif dalam menanggulangi nyeri dan inflamasi pada penderita rheumatoid arthritis. Namun, kelihatannya makin lebih selektif suatu AINS menghambat COX-1 makin berkurang khasiatnya sebagai antiinflamasi, dan sebaliknya dengan sediaan yang makin lebih selektif menghambat COX-2.
Penggunaan AINS sebagai sediaan analgetika tunggal akan menunjukkan efek mengatap (ceiling effect). Niederberger dkk (2001) menunjukkan kejadiaan tersebut pada celecoxib, dimana dengan dosis 800 mg per-hari memberikan khasiat analgetik yang tidak lebih besar daripada dosis optimum yang dianjurkan (200 mg), malah lebih rendah daripada dosis 200 mg per-hari. Oleh karena semua AINS menunjukkan efek mengatap (ceiling effect) yang akan membatasi khasiatnya pada penanggulangan nyeri rematik yang makin meningkat parah, sehingga penggunaan dosis yang lebih besar dari yang semestinya tidak dianjurkan.
Pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik
AINS sebagai antinyeri paling bermanfaat bila nyeri disertai dengan adanya proses inflamasi. Secara farmakologis, AINS yang diinginkan sebagai antinyeri rematik adalah sediaan yang sudah terbukti:
Dalam pengobatan radang sendi yang merupakan organ sasaran AINS adalam membran sinovium. Tangkapan ion AINS (yang umumnya bersifat asam lemah) di lingkungan intraseluler yang lebih alkalis akan memacu ambilannya di sendi yang mengalami peradangan. Hal ini jelas akan memberikan nilai tambah dalam khasiat klinis suatu AINS (Borenstein, 1995). Borenstein (1995) berhasil memantau keberadaan AINS yang bersifat asam lemah (naproxen, oxaprozin dan piraoxicam) di sinovium.
Berdasarkan telusuran kepustakaan yang telah dilakukan, sangat terbatas ragam AINS yang terbukti mampu merembes ke sinovium, diantaranya diclofenac (Blagbrough dkk,1992; Gallacchi & Marcolongo, 1993 ; Davies & Anderson, 1997), ibuprofen (Blagbrough dkk,1992), ketoprofen (Barbanoj dkk, 2001; Audeval-Gerard dkk, 2000), meloxicam (Davies & Anderson, 1997) dan naproxen (Blagbrough dkk,1992). Cukup banyak sediaan AINS yang diberikan secara topikal dalam penanggulangan nyeri inflamasi sendi. Beberapa sediaan AINS diklofenak (Davies & Anderson, 1997), ketoprofen (Audeval-Gerard dkk, 2000) dan meloxicam (Davies & Skjodt, 1999) ternyata mampu merembes ke dalam kulit dan sampai ke sinovium. Secara farmakologis sediaan AINS seperti inilah yang diharapkan akan memberikan khasiat antinyeri rematik yang nyata.
2. mula kerja AINS yang segera (dini)
Mula kerja obat biasanya berkaitan dengan kecepatan penyerapan obat, makin cepat kadar puncak obat tercapai makin dini efek AINS muncul. Diklofenak bila diberikan peroral akan diserap dengan cepat dan sempurna (Davies & Anderson, 1997) akan memberikan mula kerja yang segera. Contoh sediaan AINS lain yang juga cepat penyerapannya adalah asam mefenamat, ibuprofen, ketoprofen, nimesulide dan lainnya.
Selain itu, kerja suatu AINS sangat dipengaruhi oleh distribusinya ke cairan sinovium. Diklofenak yang terdistribusi ke cairan sinovium menunjukkan hubungan konsentrasi-efek diklofenak (Davies & Anderson, 1997). Suatu hal yang perlu menjadi catatan bahwa distribusi AINS ke cairan sinovium akan meningkat pada fase inflamasi. Misalnya meloxicam, ratio konsentrasi di cairan sinovium / di plasma pada inflamasi akut (0,58) lebih besar daripada tanpa inflamasi (0,38) (Lapicque dkk, 2000).
3. masa kerja AINS yang lama (panjang)
Biasanya, makin panjang waktu paruh AINS makin lama masa kerja AINS. Sebaiknya suatu AINS bekerja lama kalau perlu lebih dari 24 jam sehingga barangkali cukup diberikan satu kali dalam satu minggu. Salah satu derivate oxicam (meloxicam) memiliki waktu paruh sekitar 20 jam, membuat sediaan ini layak untuk diberikan sekali sehari (Davies & Skjodt, 1999). Namun di sisi lain makin panjang waktu paruh AINS (misalnya t ½ piroxicam = 50 jam atau lebih dari 2 hari 2 malam ) makin mudah terjadi akumulasi (penumpukan) AINS di dalam tubuh penderita. Apa bila AINS tersebut diberikan lebih sering, sudah tentu sebagai akibatnya makin mudah terjadi efek toksik AINS dengan segala resiko.
Upaya untuk memperpanjang masa kerja AINS dengan waktu paruh singkat (misalnya ibuprofen dan diklofenak) dapat dilakukan merubah formulasinya menjadi sediaan lepas lambat. Sediaan lepas lambat memiliki kelebihan dalam hal tidak adanya perubahan waktu paruh sediaan, dengan kata lain secara farmakologis lebih aman daripada AINS dengan waktu paruh panjang.
Suatu hal yang perlu dicatat adalah apabila suatu sediaan AINS telah terdistribusi ke sinovium biasanya akan memberikan waktu paruh yang lebih panjang daripada yang ada di plasma (Audeval-Gerard dkk, 2000). Setelah pemberian piroxicam (20 mg), kadar AINS di plasma (2.51+/-0.25 microg/ml) lebih tinggi daripa di cairan sinovium (1.31+/-0.76 microg/ml), tetapi waktu paruh di cairan sinovium (90.7 h) lebih panjang daripada yang di plasma (32.5 h) (Bannwart dkk, 2001).
4. bahan aktif AINS bukan rasemik
Dalam pengembangan analgetika AINS dari derivate asam propionate akan selalu dalam bentuk racemik, campuran S-enantiomer dan R-enantiomer. Dari banyak kajian diketahui bahwa bentuk S-enantiomer memiliki aktivitas biologic AINS yang nyata dibandingkan bentuk R-enantiomer, misalnya pada ketorolac (Jett dkk, 1999) dan ketoprofen (Verde dkk, 2001). Dengan kata lain setiap kali dokter meresepkan ketoprofen sebagai AINS pilihan untuk penderitanya berarti dokter menyuruh penderita menghabiskan separuh dari dana pengobatan untuk bahan obat yang kurang berkhasiat R-enantiomer ketoprofen. Setelah pemberian campuran rasemik (S)-(+)- dan (R)-(-)-ketoprofen, (S)-(+)-ketoprofen merupakan enantiomer utama baik di plasma maupun di cairan sinovium (Verde dkk, 2001). Namun disposisi ketoprofen di cairan sinovium tidak bergantung pada steroselektivitas, dimana (S)-(+)-ketoprofen tidak dirubah menjadi (R)-(-)-ketoprofen (Barbanoj dkk, 2001).

5. bahan aktif AINS bukan prodrug.
Ada beberapa AINS, misalnya sulindac dan nabumeton, baru akan berkhasiat sebagai analgetik antiinflamasi apabila AINS tersebut dimetabolisme lebih dahulu dari bahan yang tidak aktif menjadi metabolit yang aktif.
6. efek samping AINS yang minimal
Dalam penanggulangan rasa sakit dan gejala inflamasi lainnya pada seorang penderita, kesempatan untuk mengetahui apakah penderita rawan efek samping OAINS sangat terbatas. Namun harus mempertimbangkan apakah kualitas hidup penderita setelah mendapat AINS lebih baik dari pada tidak mendapat pengobatan. AINS memiliki berbagai efek yang merugikan, termasuk efeknya pada saluran cerna dan ginjal, namun kejadian efek samping ini berbeda diantara AINS yang ada dipasaran. Perbedaan ini sering menjadi factor utama dalam pemilihan AINS oleh para dokter. Efek samping AINS yang paling sering terjadi adalah:
• gangguan saluran cerna
Secara klinis, gangguan saluran cerna (apakah sebagai efek topikal atau sistemik) merupakan efek samping AINS yang paling penting. Bila yang menjadi permasalahan adalah efek iritasi langsung pada lambung, dapat diberikan sediaan oral AINS non-acidic, misalnya derivat naftalen (nabumetone) atau derivat pyrazolon (metamizol), atau AINS dengan pKa mendekati netral, misalnya nimesulide, celecoxib dan rofecoxib. Usaha lain adalah mengunakan sediaan AINS per-oral dengan formulasi tertentu (buffered, enteric coated), per-injeksi, per-rectal atau topical (salep). Namun usaha ini belum mampu menurunkan kejadian tukak lambung.
Meskipun dinyatakan bahwa AINS yang selektif menghambat COX-2 celecoxib dan rofecoxib sangat minimal mencederai mukosa saluran cerna, hasil kajian Fiorucci dkk (2003) menunjukkan bahwa bila celecoxib digabung dengan asetosal maka pencederaan mukosa saluran cerna lebih banyak bila diberikan sendiri-sendiri. Celecoxib dan rofecoxib secara nyata meningkatkan keparahan kerusakan mukosa saluran cerna.
• gangguan fungsi ginjal
Pengembangan sediaan AINS dengan hambatan sangat selektif COX-2 celecoxib dan rofecoxib membuat para dokter untuk lebih peduli dengan peran masing-masing COX-1 dan COX-2 pada faal ginjal. Bukti menunjukkan bahwa hambatan aktivitas COX-2 akan menyebabkan retensi natrium. Hal ini sudah tentu dapat meninggikan tekanan darah penderita. Lebih lanjut, kejadian edema pada penderita osteoartritis yang mendapat sediaan AINS dengan hambatan sangat selektif COX-2 menunjukkan bahwa makin selektif (rofecoxib, 25 mg) makin nyata kejadian edemanya dibandingkan yang kurang selektif (celecoxib, 200 mg) (Whelton,2001).
• gangguan sistem kardiovaskuler
Sayangnya efek samping AINS pada sistem kardiovaskuler kurang menjadi perhatian, seperti diketahui bahwa beberapa AINS mampu memperburuk tekanan darah penderita hipertensi. Hal ini menjadi lebih berarti mengingat tingginya persentase penderita hipertensi yang juga mengalami osteoartritis. Pengkajian meta-analisis sebelumnya oleh Pope dkk (1993) menunjukkan bahwa peninggian mean arterial pressure pada penderita hipertensi yang mendapat indometasin adalah 3.59 mm Hg dan yang mendapat naproxen adalah 3.74 mm Hg. Sementara perubahan mean arterial pressure pada mereka yang mendapat ibuprofen (0.83 mm Hg), piroxicam (0.49 mm Hg), dan sulindac (0.16 mm Hg) relatif sangat minimal. Data yang ada berkaitan dengan penggunaan AINS dengan hambatan selektif COX-2 pada tekanan darah penderita hipertensi sangat terbatas. Graves dan Hunder (2000). menemukan perburukan tekanan darah penderita hipertensi yang mendapat AINS dengan hambatan selektif COX-2 celecoxib dan rofecoxib dengan peninggian tekanan darah sistol (18 - 51 mmHg) dan diastole (10 - 22 mmHg) yang cukup besar.
• gangguan pembekuan darah
Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa penghambatn COX-1 akan berakibat terjadinya penurunan produksi tromboxan, yang diikuti dengan perpanjangan waktu pembekuan darah kemudahan terjadinya perdarahan. AINS konvensional (diklofenak dan piroksikam) meskipun diberikan dalam bentuk salep (gel) tetap mampu meningkatkan kejadian efek samping pada pembekuan darah. Penghambat COX-2 celecoxib, nimesulid dan lainnya secara eksperimental tidak mengganggu pembekuan darah. Namun sampai saat ini baru Crofford dkk (2000) yang melaporkan temuan mereka adanya trombosis pada penderita yang diobati dengan celecoxib. Bersamaan dengan meningkatnya proses vasokonstriksi, peningkatan pembekuan darah akibat makin bebasnya jalur COX-1 dalam mensintesis tromboxan akan mempermudah terjadinya serangan jantung pada pemakai AINS dengan penghambatan COX-2 yang sangat selektif.
7. memberikan interaksi yang minimal
Umumnya semua sediaan AINS akan berikatan kuat dengan protein plasma. Hal ini akan memberikan dampak tertentu dalam hal interaksinya dengan obat-obatan lain yang membutuhkan albumin sebagai protein plasma (Lelo, 2001). Interaksi obat antara AINS dengan beraneka ragam jenis obat selalu memberikan efek yang tak menguntungkan pada penderita misalnya penggabungan AINS dengan ACE-inhibitor dapat mengundang terjadinya sinkop. Sementara interaksi AINS terhadap penyakit penyerta juga dapat berakibat fatal, misalnya penggunaan AINS pada penderita payah jantung (Lelo, 2001).
8 mekanisme kerja multifactor
Nyeri inflamasi seperti yang dikeluhkan penderita rematik, bukan semata-mata akibat peningkatan mediatar inflamasi prostaglandin. Berbagai mediator inflamasi lain (misalnya bradikinin) dan sitokin (TNF-alfa dan interleukin) turut serta dilepaskan dan berperan serta dalam mencetuskan nyeri inflamasi. Interleukin-1beta, suatu proinflammatory cytokine, menyebabkan pembebasan secara perlahan PGE2. Sebaliknya, bradikinin, suatu mediator kimiawi pada inflamasi, memacu pembebasan PGE2 dengan cepat.
Naproxen, berbeda dari nimesulide, tidak mampu menghambat ekspresi COX-2 yang dipicu oleh IL-1 beta (Fahmi dkk, 2001). Henrotin dkk (1999) mengkaji efek diklofenak dan nimesulide terhadap produksi prostaglandin dan sitokin pada chondrocyte manusia. Grup peneliti ini membuktikan bahwa produksi PGE-2 dan IL-6 ditekan baik pada chondrocyte yang distumulasi dengan atau tanpa stimulasi IL-1 beta. Pengkajian lanjutan dari grup peneliti ini mendapatkan bahwa seluruh AINS yang diuji mampu menghambat sintesis PGE-2, sementara diclofenak, indomethacin dan nimesulide secara bermakna menghambat produksi IL-6 baik dalam keadaan basal maupun distimulasi dengan IL-1 beta. Celecoxib dan ibuprofen hanya menghambat produksi IL-6 yang distimulasi dengan IL-1 beta, sedangkan piroxicam dan rofecoxib tidak menunjukkan efek yang bermakna. Tak satupun dari AINS yang diuji menunjukkan efek yang bermakna terhadap produksi IL-8 baik dalam keadaan basal maupun terstimulasi dengan IL-1 beta, kecuali celecoxib dan ibuprofen yang mampu meningkatkan produksi IL-8 dalam keadaan basal. Sanchez dkk (2002) berpendapat bahwa mekanisme kerja AINS kelihatannya multifactor dan tidak terbatas pada kemampuan hambatan aktivitas cyclooxygenase. Efek ini memberikan nilai tambah dalam pengobatan jangka panjang nyeri rematik.
Kesimpulan
Keluhan rasa sakit merupakan salah alasan dokter dalam pemberian analgetika, Salah satu analgetika pilihan adalah AINS. Namun, tiap AINS memiliki kekhasan farmakokinetik (ikatan protein dan waktu paruh) dan farmakodinamik (potensi dan efek samping), yang merupakan pertimbangan farmakologi sebelum peresepannya.
Selama khasiat sediaan dengan selektivitas penghambatan COX-2 tidak lebih superior dibandingkan AINS yang ada, secara farmakologi menggunakan AINS yang cepat diabsorpsi akan memberikan efek lebih dini, dan sediaan dengan waktu paruh yang pendek akan terhindar dari kemungkinan akumulasi obat dan dengan demikian akan memberikan tingkat keamanan yang lebih baik. Pada kenyataannya, tidak satupun AINS dengan selektivitas penghambat COX-2 bebas dari efek samping pada saluran cerna dan berbagai efek samping lainnya diluar saluran cerna, misalnya pada sistem kardiovaskuler.
Pertimbangan farmakologi dalam pemilihan AINS sebagai antinyeri rematik secara rasional adalah 1) AINS terdistribusi ke sinovium, 2) mula kerja AINS segera (dini), 3) masa kerja AINS lama (panjang), 4) bahan aktif AINS bukan rasemik, 5) bahan aktif AINS bukan prodrug, 6) efek samping AINS minimal, 7) memberikan interaksi yang minimal dan 8) dengan mekanisme kerja multifactor.
Kepustakaan
Audeval-Gerard C, Nivet C, el Amrani AI, Champeroux P, Fowler J, Richard S. Pharmacokinetics of ketoprofen in rabbit after a single topical application. Eur J Drug Metab Pharmacokinet. 25(3-4):227-30,2000.
Bannwart B, Bertin P, Pehourcq F, Schaeverbeke T, Gillet P, Lefrancois G, Treves R, Dehais J, Netter P, Gaucher A. Piroxicam concentrations in plasma and synovial fluid after a single dose of piroxicam-beta-cyclodextrin. Int J Clin Pharmacol Ther. 39(1):33-6,2001.
Barbanoj MJ, Antonijoan RM, Gich I. Clinical pharmacokinetics of dexketoprofen. Clin Pharmacokinet. 40(4):245-62,2001.
Bensen WG, Fiechther JJ, McMirren JI, et al. Treatment of osteoarthritis with celecoxib, a cyclooxygenase-2 inhibitor: a randomized controlled trial. Mayo Clin Proc 74:1095-105,1999.
Blagbrough IS, Daykin MM, Doherty M, Pattrick M, Shaw PN. High-performance liquid chromatographic determination of naproxen, ibuprofen and diclofenac in plasma and synovial fluid in man. J Chromatogr. 578(2):251-7,1992.
Borenstein D. Synovial Tissue, Synovial Fluid, and Plasma Distribution of Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs: Clinical Implications. Am J Ther. 2(12):978-983,1995.
Cannon GW, Caldwell JR, Holt P, et al. Rofecoxib, a specific inhibitor of cyclooxygenase 2, with clinical efficacy comparable with that of diclofenac sodium: results of a one-year, randomized, clinical trial in patients with osteoarthritis of the knee and hip. Rofecoxib Phase III Protocol O35 Study Group. Arthritis Rheum 43:978-87,2000.
Crofford LJ, Oates JC, McCune WJ, et al. Thrombosis in patients with connective tissue diseases treated with specific cyclooxygenase 2 inhibitors. A report of four cases. Arthritis Rheum 43(8):1891-6,2000
Davies NM, Anderson KE. Clinical pharmacokinetics of diclofenac. Therapeutic insights and pitfalls. Clin Pharmacokinet. 33(3):184-213,1997.
Davies NM, Skjodt NM.Clinical pharmacokinetics of meloxicam. A cyclo-oxygenase-2 preferential nonsteroidal anti-inflammatory drug. Clin Pharmacokinet. 36(2):115-26,1999.
Duffy T, Belton O, Bresnihan B, FitzGerald O, FitzGerald D. Inhibition of PGE2 production by nimesulide compared with diclofenac in the acutely inflamed joint of patients with arthritis. Drugs. 63(Suppl 1):31-6,2003.
Ehrich EW. Effect of specific Cox-2 inhibition in osteoarthritis of the knee: a 6 week double blind placebo controlled pilot study of rofecoxib. J Rheumatol 26:2438-47,1999.
Fahmi H, He Y, Zhang M, Martel-Pelletier J, Pelletier JP, Di Battista JA. Nimesulide reduces interleukin-1beta-induced cyclooxygenase-2 gene expression in human synovial fibroblasts. Osteoarthritis Cartilage. 9(4):332-40,2001.
Fiorucci S, Santucci L, Wallace JL, Sardina M, Romano M, del Soldato P, Morelli A. Interaction of a selective cyclooxygenase-2 inhibitor with aspirin and NO-releasing aspirin in the human gastric mucosa. Proc Natl Acad Sci U S A. 100(19):10937-41,2003.
Gallacchi G, Marcolongo R. Pharmacokinetics of diclofenac hydroxyethylpyrrolidine (DHEP) plasters in patients with monolateral knee joint effusion. Drugs Exp Clin Res. 19(3):95-7,1993.
Graves JW, Hunder IA. Worsening of Hypertension by Cyclo-oxygenase-2 Inhibitors. J Clin Hypertens 2(6):396-8,2000.
Henrotin YE, Labasse AH, Simonis PE, Zheng SX, Deby GP, Famaey JP, Crielaard JM, Reginster JY. Effects of nimesulide and sodium diclofenac on interleukin-6, interleukin-8, proteoglycans and prostaglandin E2 production by human articular chondrocytes in vitro. Clin Exp Rheumatol. 17(2):151-60,1999.
Jett MF, Ramesha CS, Brown CD, Chiu S, Emmett C, Voronin T, Sun T, O'Yang C, Hunter JC, Eglen RM, Johnson RM. Characterization of the analgesic and anti-inflammatory activities of ketorolac and its enantiomers in the rat. J Pharmacol Exp Ther. 288(3):1288-97,1999.
Jones CJ, Streppa HK, Harmon BG, Budsberg SC. In vivo effects of meloxicam and aspirin on blood, gastric mucosal, and synovial fluid prostanoid synthesis in dogs. Am J Vet Res. 63(11):1527-31,2002.
Lapicque F, Vergne P, Jouzeau JY, Loeuille D, Gillet P, Vignon E, Thomas P, Velicitat P, Turck D, Guillaume C, Gaucher A, Bertin P, Netter P. Articular diffusion of meloxicam after a single oral dose: relationship to cyclo-oxygenase inhibition in synovial cells. Clin Pharmacokinet. 39(5):369-82,2000.
Lelo A.: Pertimbangan yang muncul dari OAINS yang digunakan. Dalam, Naskah Lengkap Temu Ilmiah Rematologi 2001. (eds. Setyohadi B, Kasjmir YI), Ikatan Reumatologi Indonesia, Jakarta, pp:96-9,2001
Niederberger E, Tegeder I, Vetter G, Schmidtko A, Schmidt H, Euchenhofer C, Bräutigam L, Grösch S, Geisslinger G. Celecoxib loses its anti-inflammatory efficacy at high doses through activation of NF-B. FASEB 15:1622-4,2001.
Pope JE, Anderson JJ, Felson DT. A meta-analysis of the effects of nonsteroidal anti-inflammatory drugs on blood pressure. Arch Intern Med. 153:477-84.1993.
Sanchez C, Mateus MM, Defresne MP, Crielaard JM, Reginster JY, Henrotin YE. Metabolism of human articular chondrocytes cultured in alginate beads. Longterm effects of interleukin 1beta and nonsteroidal antiinflammatory drugs. J Rheumatol. 29(4):772-82,2002.
Simon LS, Weaver AL, Graham DY, et al. Anti-inflammatory and upper gastro-intestinal effects of celecoxib in rheumatoid arthritis. JAMA 282:1921-8,1999.
Tamblyn R, Berkson L, Dauphinee WD, Gayton D, Grad R, Huang A, Isaac L, McLeod P, Snell L. Unnecessary Prescribing of NSAIDs and the Management of NSAID-Related Gastropathy in Medical Practice. Annals of Internal Medicine 127:429-38,1997.
Verde CR, Simpson MI, Frigoli A, Landoni MF. Enantiospecific pharmacokinetics of ketoprofen in plasma and synovial fluid of horses with acute synovitis. J Vet Pharmacol Ther. 24(3):179-85,2001.
Whelton A. COX-2 specific inhibitors and the kidney – effect on hypertension and edema. Cardiovascular and renal effects of COX-2 specific inhibitors: emerging Pathophysiologically and clinical perspectives. Satellite Symposium at Congress of the European Society of Hypertension, Milan, Italy, June 14-19, 2001
Wittenberg RH, Willburger RE, Kleemeyer KS, Peskar BA. In vitro release of prostaglandins and leukotrienes from synovial tissue, cartilage, and bone in degenerative joint diseases. Arthritis Rheum. 36(10):1444-50,1993.

PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID INHALASI DALAM TERAPI ASMA

PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID INHALASI DALAM TERAPI ASMA

(Natalia Sugianti 078115060)

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit yang disebabkan karena adanya inflamasi/ peradangan kronis pada saluran pernafasan dengan ciri-ciri seperti serangan akut secara berkala, sesak nafas, mudah tersengal-sengal, disertai batuk dan hipersekresi dahak, serta ‘mengi’ pada pasien asma yang sudah parah. Jumlah penderita asma dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup tinggi, sehingga diperlukan pengobatan yang tepat dan benar agar tidak sampai menyebabkan kematian.

Asma dapat terjadi karena meningkatnya kepekaan otot polos di sekitar saluran nafas seseorang dibandingkan saluran nafas normal terhadap stimuli tidak spesifik yang dihirup dari udara, yang pada orang sehat tidak memberikan reaksi pada saluran pernafasan seperti perubahan suhu, dingin, polusi udara (asap rokok), dll. Selain itu dapat pula terjadi karena reaksi alergi, atau karena infeksi saluran pernafasan yang dapat menyebabkan radang/ inflamasi sehingga saluran nafas pada pasien asma lebih menyempit lagi.

PENTATALAKSANAAN TERAPI

Sasaran terapi pada pasien asma dengan menggunakan kortikosteroid inhalasi yaitu peradangan saluran nafas dan gejala asma. Terapi asma disini bertujuan untuk menghambat atau mengurangi peradangan saluran pernafasan serta mencegah dan atau mengontrol gejala asma, sehingga gejala asma berkurang/ hilang dan pasien tetap dapat bernafas dengan baik.

Strategi terapi asma dapat dibagi menjadi dua yaitu terapi non farmakologi (tanpa menggunakan obat) dan terapi farmakologi (dengan obat).

Terapi Non Farmakologi

Untuk terapi non farmakologi, dapat dilakukan dengan olah raga secara teratur, misalnya saja renang. Sebagian orang berpendapat bahwa dengan berenang, gejala sesak nafas akan semakin jarang terjadi. Hal ini mungkin karena dengan berenang, pasien dituntut untuk menarik nafas panjang-panjang, yang berfungsi untuk latihan pernafasan, sehingga otot-otot pernafasan menjadi lebih kuat. Selain itu, lama kelamaan pasien akan terbiasa dengan udara dingin sehingga mengurangi timbulnya gejala asma. Namun hendaknya olah raga ini dilakukan secara bertahap dan dengan melihat kondisi pasien.

Selain itu dapat diberikan penjelasan kepada pasien agar menghindari atau menjauhkan diri dari faktor-faktor yang diketahui dapat menyebabkan timbulnya asma, serta penanganan yang harus dilakukan jika serangan asma terjadi.

Terapi Farmakologi

Sedangkan untuk terapi farmakologi, dapat dibagi menjadi dua jenis pengobatan yaitu:

  • Quick-relief medicines, yaitu pengobatan yang digunakan untuk merelaksasi otot-otot di saluran pernafasan, memudahkan pasien untuk bernafas, memberikan kelegaan bernafas, dan digunakan saat terjadi serangan asma (asthma attack). Contohnya yaitu bronkodilator.
  • Long-term medicines, yaitu pengobatan yang digunakan untuk mengobati inflamasi pada saluran pernafasan, mengurangi udem dan mukus berlebih, memberikan kontrol untuk jangka waktu lama, dan digunakan untuk membantu mencegah timbulnya serangan asma (asthma attack). Contohnya yaitu kortikosteroid bentuk inalasi.

Obat-obat asma yang digunakan antara lain bronkodilator (simpatomimetika: salbutamol, metilsantin: teofilin, antikolinergik: apratropium bromide), kortikosteroid (prednisolon, budesonida,dll) dan obat-obatan lain seperti ekspektoran (guaifenesin), mukolitik (bromheksin), antihistamin (ketotifen), dan antileukotrien (zafirlukast). Untuk memaksimalkan pengobatan asma biasanya digunakan kombinasi beberapa obat. Obat-obat asma tersedia dalam berbagai macam bentuk sediaan, yaitu oral, parenteral, dan inhalasi. Namun yang akan dibahas lebih lanjut disini yaitu kortikosteroid bentuk inhalasi.

KORTIKOSTEROID INHALASI

Kortikosteroid terdapat dalam beberapa bentuk sediaan antara lain oral, parenteral, dan inhalasi. Ditemukannya kortikosteroid yang larut lemak (lipid-soluble) seperti beclomethasone, budesonide, flunisolide, fluticasone, and triamcinolone, memungkinkan untuk mengantarkan kortikosteroid ini ke saluran pernafasan dengan absorbsi sistemik yang minim. Pemberian kortikosteroid secara inhalasi memiliki keuntungan yaitu diberikan dalam dosis kecil secara langsung ke saluran pernafasan (efek lokal), sehingga tidak menimbulkan efek samping sistemik yang serius. Biasanya, jika penggunaan secara inhalasi tidak mencukupi barulah kortikosteroid diberikan secara oral, atau diberikan bersama dengan obat lain (kombinasi, misalnya dengan bronkodilator). Kortikosteroid inhalasi tidak dapat menyembuhkan asma. Pada kebanyakan pasien, asma akan kembali kambuh beberapa minggu setelah berhenti menggunakan kortikosteroid inhalasi, walaupun pasien telah menggunakan kortikosteroid inhalasi dengan dosis tinggi selama 2 tahun atau lebih. Kortikosteroid inhalasi tunggal juga tidak efektif untuk pertolongan pertama pada serangan akut yang parah.

Berikut ini contoh kortikosteroid inhalasi yang tersedia di Indonesia antara lain:

Nama generik Nama dagang di Indonesia Bentuk Sediaan Dosis dan Aturan pakai
Beclomethasone dipropionate Becloment (beclomethasone dipropionate 200μg/ dosis) Inhalasi aerosol Inhalasi aerosol: 200μg , 2 kali seharianak: 50-100 μg 2 kali sehari
Budesonide Pulmicort (budesonide

100 μg, 200 μg, 400 μg / dosis)

Inhalasi aerosolSerbuk inhalasi Inhalasi aerosol: 200 μg, 2 kali sehariSerbuk inhalasi: 200-1600 μg / hari dalam dosis terbagianak: 200-800 μg/ hari dalam dosis terbagi
Fluticasone Flixotide (flutikason propionate50 μg , 125 μg /dosis) Inhalasi aerosol Dewasa dan anak > 16 tahun: 100-250 μg, 2 kali sehariAnak 4-16 tahun; 50-100 μg, 2 kali sehari

Dosis untuk masing-masing individu pasien dapat berbeda, sehingga harus dikonsultasikan lebih lanjut dengan dokter, dan jangan menghentikan penggunaan kortikosteroid secara langsung, harus secara bertahap dengan pengurangan dosis.

MEKANISME AKSI

Kortikosteroid bekerja dengan memblok enzim fosfolipase-A2, sehingga menghambat pembentukan mediator peradangan seperti prostaglandin dan leukotrien. Selain itu berfungsi mengurangi sekresi mukus dan menghambat proses peradangan. Kortikosteroid tidak dapat merelaksasi otot polos jalan nafas secara langsung tetapi dengan jalan mengurangi reaktifitas otot polos disekitar saluran nafas, meningkatkan sirkulasi jalan nafas, dan mengurangi frekuensi keparahan asma jika digunakan secara teratur.

INDIKASI

Kortikosteroid inhalasi secara teratur digunakan untuk mengontrol dan mencegah gejala asma.

KONTRAINDIKASI

Kontraindikasi bagi pasien yang hipersensitifitas terhadap kortikosteroid.

EFEK SAMPING

Efek samping kortikosteroid berkisar dari rendah, parah, sampai mematikan. Hal ini tergantung dari rute, dosis, dan frekuensi pemberiannya. Efek samping pada pemberian kortikosteroid oral lebih besar daripada pemberian inhalasi. Pada pemberian secara oral dapat menimbulkan katarak, osteoporosis, menghambat pertumbuhan, berefek pada susunan saraf pusat dan gangguan mental, serta meningkatkan resiko terkena infeksi. Kortikosteroid inhalasi secara umum lebih aman, karena efek samping yang timbul seringkali bersifat lokal seperti candidiasis (infeksi karena jamur candida) di sekitar mulut, dysphonia (kesulitan berbicara), sakit tenggorokan, iritasi tenggorokan, dan batuk. Efek samping ini dapat dihindari dengan berkumur setelah menggunakan sediaan inhalasi. Efek samping sistemik dapat terjadi pada penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yaitu pertumbuhan yang terhambat pada anak-anak, osteoporosis, dan karatak.

RESIKO KHUSUS

Pada anak-anak, penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi menunjukkan pertumbuhan anak yang sedikit lambat, namun asma sendiri juga dapat menunda pubertas, dan tidak ada bukti bahwa kortikosteriod inhalasi dapat mempengaruhi tinggi badan orang dewasa.

Hindari penggunaan kortikosteroid pada ibu hamil, karena bersifat teratogenik.

CARA PENGGUNAAN INHALER

  • Sebelum menarik nafas, buanglah nafas seluruhnya, sebanyak mungkin
  • Ambillah inhaler, kemudian kocok
  • Peganglah inhaler, sedemikian hingga mulut inhaler terletak dibagian bawah
  • Tempatkanlah inhaler dengan jarak kurang lebih dua jari di depan mulut (jangan meletakkan mulut kita terlalu dekat dengan bagian mulut inhaler)
  • Bukalah mulut dan tariklah nafas perlahan-lahan dan dalam, bersamaan dengan menekan inhaler (waktu saat menarik nafas dan menekan inhaler adalah waktu yang penting bagi obat untuk bekerja secara efektif)
  • Segera setelah obat masuk, tahan nafas selama 10 detik (jika tidak membawa jam, sebaiknya hitung dalam hati dari satu hingga sepuluh)
  • Setelah itu, jika masih dibutuhkan dapat mengulangi menghirup lagi seperti cara diatas, sesuai aturan pakai yang diresepkan oleh dokter
  • Setelah selesai, bilas atau kumur dengan air putih untuk mencegah efek samping yang mungkin terjadi.

PENUTUP

Pengobatan asma harus dilakukan secara tepat dan benar untuk mengurangi gejala yang timbul. Pengobatan asma memerlukan kerja sama antara pasien, keluarga, dan dokternya. Oleh karena itu pasien asma dan keluarganya harus diberi informasi lengkap tentang obat yang dikonsumsinya; kegunaan, dosis, aturan pakai, cara pakai dan efek samping yang mungkin timbul. Pasien hendaknya juga menghindari faktor yang menjadi penyebab timbulnya asma. Selain itu, pasien harus diingatkan untuk selalu membawa obat asma kemanapun dia pergi, menyimpan obat-obatnya dengan baik, serta mengecek tanggal kadaluarsa obat tersebut. Hal ini perlu diperhatikan agar semakin hari kualitas hidup pasien semakin meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1998, Buku Saku Kedokteran Dorland edisi 25, Penerbit ECG, Jakarta

Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Boushey H.A., 2001, Obat-obat Asma dalam Katzung, B.G., Farmakologi Dasar & Klinik, Ed.I, diterjemahkan oleh Sjbana, D., dkk, Salemba Medika, Jakarta

Brenner, MD, 2005, Current Clinical Strategies , Laguna Hills, California

Dipiro,JT., dkk, 2005, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Sixth Edition, The McGraw-Hill Companies, Inc.., USA

Senin, 15 Desember 2008

HIPERTENSI

HIPERTENSI

A)Mengenal Hipertensi

Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis di mana terjadi peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam jangka waktu lama). Penderita yang mempunyai sekurang-kurangnya tiga bacaan tekanan darah yang melebihi 140/90 mmHg saat istirahat diperkirakan mempunyai keadaan darah tinggi. Tekanan darah yang selalu tinggi adalah salah satu faktor resiko untuk stroke, serangan jantung, gagal jantung dan aneurisma arterial, dan merupakan penyebab utama gagal jantung kronis.

Penyakit hipertensi sering disebut sebagai the silent disease. Umumnya penderita tidak mengetahui dirinya mengidap hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Penyakit ini dikenal juga sebagai heterogeneous group of disease karena dapat menyerang siapa saja dari berbagai kelompok umur dan kelompok sosial-ekonomi.

Berbagai faktor diduga turut berperan sebagai penyebab hipertensi primer, seperti bertambahnya umur, stres psikologis, dan hereditas (keturunan). Sekitar 90 persen pasien hipertensi diperkirakan termasuk dalam kategori ini.

Faktor pemicu hipertensi dapat dibedakan atas yang tidak dapat dikontrol (seperti keturunan, jenis kelamin, dan umur) dan yang dapat dikontrol (seperti kegemukan, kurang olahraga, merokok, serta konsumsi alkohol dan garam). Hipertensi dapat dicegah dengan pengaturan pola makan yang baik dan aktivitas fisik yang cukup.

Tekanan darah normal (normotensif) sangat dibutuhkan untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh, yaitu untuk mengangkut oksigen dan zat-zat gizi.

Pada pemeriksaan tekanan darah akan didapat dua angka. Angka yang lebih tinggi diperoleh pada saat jantung berkontraksi (sistolik), angka yang lebih rendah diperoleh pada saat jantung berelaksasi (diastolik). Tekanan darah kurang dari 120/80 mmHg didefinisikan sebagai “normal”. Pada tekanan darah tinggi, biasanya terjadi kenaikan tekanan sistolik dan diastolik. Hipertensi biasanya terjadi pada tekanan darah 140/90 mmHg atau ke atas, diukur di kedua lengan tiga kali dalam jangka beberapa minggu.

Prevalensi

Prevalensi dari hipertensi adalah 17% wanita kulit putih, 26% laki-laki kulit putih, 37% wanita kulit hitam, dan 44% laki-laki kuit hitam, usia 34 – 45 tahun. Pada usia lebih dari 65 tahun, perbedaan jenis kelamin dalam tekanan darahnya kurang dicatat, prevalensi hipertensi kurang lebih 63% untuk kulit putih dan 76% untuk kuliat hitam (berdasarkan data dari Centers Disease Control and Prevention, National center For Health Statistic).

B)KLASIFIKASI

kategori

tekanan darah sistolik

tekanan darah diastolik

normal

dibawah 130 mmhg

dibawah 85 mmhg

normal tinggi

130-139 mmhg

85-89 mmhg

stadium 1
(hipertensi ringan)

140-159 mmhg

90-99 mmhg

stadium 2
(hipertensi sedang)

160-179 mmhg

100-109 mmhg

stadium 3
(hipertensi berat)

180-209 mmhg

110-119 mmhg

stadium 4
(hipertensi maligna)

210 mmhg atau lebih

120 mmhg atau lebih

Pada hipertensi sistolik terisolasi, tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih, tetapi tekanan diastolik kurang dari 90 mmHg dan tekanan diastolik masih dalam kisaran normal. Hipertensi ini sering ditemukan pada usia lanjut.

Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah; tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun drastis.

Hipertensi diduga dapat berkembang menjadi masalah kesehatan yang lebih serius dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Seringkali hipertensi disebut sebagai silent killer karena dua hal, yaitu:

  • Hipertensi sulit disadari oleh seseorang karena hipertensi tidak memiliki gejala khusus. Gejala ringan seperti pusing, gelisah, mimisan, dan sakit kepala biasanya jarang berhubungan langsung dengan hipertensi. Hipertensi dapat diketahui dengan mengukur tekanan darah secara teratur.
  • Penderita hipertensi, apabila tidak ditangani dengan baik, akan mempunyai risiko besar untuk meninggal karena komplikasi kardiovaskular seperti stroke, serangan jantung, gagal jantung, dan gagal ginjal.

Klasifikasi hipertensi menurut WHO berdasarkan tekanan diastolik, yaitu:

  • Hipertensi derajat I, yaitu jika tekanan diastoliknya 95-109 mmHg.
  • Hipertensi derajat II, yaitu jika tekanan diastoliknya 110-119 mmHg.
  • Hipertensi derajat III, yaitu jika tekanan diastoliknya lebih dari 120 mmHg.

Hipertensi berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2 jenis :

  1. Hipertensi primer atau esensial adalah suatu kondisi dimana terjadinya tekanan darah tinggi sebagai akibat dampak dari gaya hidup seseorang dan faktor lingkungan. Seseorang yang pola makannya tidak terkontrol dan mengakibatkan kelebihan berat badan atau bahkan obesitas, merupakan pencetus awal untuk terkena penyakit tekanan darah tinggi. Begitu pula sesorang yang berada dalam lingkungan atau kondisi stressor tinggi sangat mungkin terkena penyakit tekanan darah tinggi, termasuk orang-orang yang kurang olahraga pun bisa mengalami tekanan darah tinggi.
  2. Hipertensi sekunder adalah suatu kondisi dimana terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi sebagai akibat seseorang mengalami/menderita penyakit lainnya seperti gagal jantung, gagal ginjal, atau kerusakan sistem hormon tubuh. Sedangkan pada Ibu hamil, tekanan darah secara umum meningkat saat kehamilan berusia 20 minggu. Terutama pada wanita yang berat badannya di atas normal.

C)PENGATURAN TEKANAN DARAH

Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara:

  • Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya
  • Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. Inilah yang terjadi pada usia lanjut, dimana dinding arterinya telah menebal dan kaku karena arteriosklerosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat terjadi “vasokonstriksi”, yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk sementara waktu mengkerut karena perangsangan saraf atau hormon di dalam darah.
  • Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat.

Sebaliknya, jika:

  • Aktivitas memompa jantung berkurang
  • Arteri mengalami pelebaran
  • Banyak cairan keluar dari sirkulasi

Maka tekanan darah akan menurun atau menjadi lebih kecil.

Target kerusakan akibat Hipertensi antara lain:

  • Otak : menyebabkan stroke
  • Mata : menyebabkan retinopati hipertensi dan dapat menimbulkan kebutaan
  • Jantung : menyebabkan penyakit jantung koroner (termasuk infark jantung), gagal jantung
  • Ginjal : menyebabkan penyakit ginjal kronik, gagal ginjal terminal

D)GEJALA

Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala; meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi (padahal sesungguhnya tidak).

Gejala Klinis Hipertensi: Pusing, mudah marah, telinga berdengung, mimisan (jarang), sukar tidur, sesak nafas, rasa berat di tengkuk, mudah lelah, mata berkunang-kunang

Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala berikut:

  • sakit kepala
  • kelelahan
  • mual
  • muntah
  • sesak nafas
  • gelisah
  • pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung dan ginjal.

Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak. Keadaan ini disebut ensefalopati hipertensif, yang memerlukan penanganan segera.

E)DIAGNOSIS

Pasien didiagnosis menderita hipertensi apabila tekanan darahnya diatas 120/80 mmHg.

Pemeriksaan laboratorium untuk Hipertensi ada 2 macam yaitu :

1. Panel Evaluasi Awal Hipertensi :
Pemeriksaan ini dilakukan segera setelah didiagnosis Hipertensi, dan sebelum memulai pengobatan

2. Panel Hidup Sehat dengan Hipertensi
Panel Dasar :
untuk memantau keberhasilan terapi
Panel Lanjut : untuk deteksi dini penyulit

TABEL :

JENIS

Panel

Panel Hidup Sehat

PEMERIKSAAN

Evaluasi Awal

Dengan Hipertensi


Hipertensi

Dasar

Lanjut

Hematologi rutin

v



Urine rutin

v

v


Glukosa Puasa

v

v


Glukosa 2 JamPP

v



Cholesterol Total

v

v


Cholesterol HDL

v

v


Cholesterol LDL direk

v

v


Trigliserida

v

v


Apo B

v

v


Status Antioksidan Total

v



hs-CRP

v


v

Urea-N

v

v


Kreatinin

v

v


Asam Urat

v

v


Cystatin-C



v

Mikroalbumin

v

v

v

Kalium

v

v


Natrium

v

v


Aldosteron



v

Troponin I



v

BNP



v

F)ETIOLOGI (PENYEBAB)

Penyebab pasti dari hipertensi esensial sampai saat ini masih belum dapat diketahui. Kurang lebih 90% penderita hipertensi tergolong hipertensi esensial sedangkan 10% nya tergolong hipertensi sekunder. Beberapa penyebab terjadinya hipertensi sekunder:

  1. Penyakit Ginjal
    • Stenosis arteri renalis
    • Pielonefritis
    • Glomerulonefritis
    • Tumor-tumor ginjal
    • Penyakit ginjal polikista (biasanya diturunkan)
    • Trauma pada ginjal (luka yang mengenai ginjal)
    • Terapi penyinaran yang mengenai ginjal
  2. Kelainan Hormonal
    • Hiperaldosteronisme
    • Sindroma Cushing
    • Feokromositoma
  3. Obat-obatan
  4. Penyebab Lainnya
    • Koartasio aorta
    • Preeklamsi pada kehamilan
    • Porfiria intermiten akut
    • Keracunan timbal akut.

Karena golongan terbesar dari penderita hipertensi adalah hipertensia esensial, maka penyelidikan dan pengobatan lebih banyak ditujukan ke penderita hipertensi esensial.Penggunaan obat-obatan seperti golongan kortikosteroid (cortison) dan beberapa obat hormon, termasuk beberapa obat antiradang (anti-inflammasi) secara terus menerus (sering) dapat meningkatkan tekanan darah seseorang. Merokok juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi dikarenakan tembakau yang berisi nikotin. Minuman yang mengandung alkohol juga termasuk salah satu faktor yang dapat menimbulkan terjadinya tekanan darah tinggi.

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko timbulnya Hipertensi
Faktor Keturunan

Pada 70-80% kasus hipertensi esensial, didapatkan riwayat hipertensi di dalam keluarga. Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orang tua, maka dugaan hipertensi esensial lebih besar. Hipertensi juga banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot (satu telur), apabila salah satunya menderita hipertensi. Dugaan ini menyokong bahwa faktor genetik mempunyai peran didalam terjadinya hipertensi.

Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan seperti stress, kegemukan (obesitas) dan kurang olah raga juga berpengaruh terhadap timbulnya hipertensi esensial. Hubungan antara stress dengan hipertensi, diduga melalui aktivasi saraf simpatis. (saraf simpatis adalah saraf yang bekerja pada saat kita beraktivitas, saraf parasimpatis adalah saraf yang bekerja pada saat kita tidak beraktivitas). Peningkatan aktivitas saraf simpatis dapat meningkatkan tekanan darah secara intermitten (tidak menentu). Apabila stress berkepanjangan, dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti, akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota. Berdasarkan penyelidikan, kegemukan merupakan ciri khas dari populasi hipertensi dan dibuktikan bahwa faktor ini mempunyai kaitan yang erat dengan terjadinya hipertensi dikemudian hari. Walaupun belum dapat dijelaskan hubungan antara obesitas dan hipertensi esensial, tetapi penyelidikan membuktikan bahwa daya pompa jantung dan sirkulasi volume darah penderita obesitas dengan hipertensi lebih tinggi dibandingan dengan penderita yang mempunyai berat badan normal.

Olah raga lebih banyak dihubungkan dengan pengobatan hipertensi, karena olah raga isotonik (spt bersepeda, jogging, aerobic) yang teratur dapat memperlancar peredaran darah sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga juga dapat digunakan untuk mengurangi/ mencegah obesitas dan mengurangi asupan garam ke dalam tubuh (tubuh yang berkeringat akan mengeluarkan garam lewat kulit). Kebiasaan lainnya seperti merokok, mengkonsumsi alkohol diduga berpengaruh dalam meningkatkan resiko hipertensi walaupun mekanisme timbulnya belum diketahui pasti.

G)PATOGENESIS

Banyak faktor-faktor yang berkontribusi untuk pengembangan hipertensi primer termasuk mekanisme saraf abnormal, kerusakan dalam autoregulasi peripheral, kerusakan sodium, calcium, dan hormon natriuretic ; dan malfungsi dari beberapa mekanisme humoral atau vasodepressor.

  1. Komponen saraf

Baik sistem saraf sentral (CNS) maupun autonom terlibat dalam pengaturan tekanan darah arteri. Stimulasi beberapa area tertentu dengan CNS (nucleus tractus solitarius, vagal nuclei, pusat vasomotor, dan area postrema) dapat menyababkan peningkatan atau penurunan tekanan darah. Sebagai contoh : α-adrenergic menstimulasi dengan CNS meningkatkan tekanan darah melewati efek penghambatan dalam pusat vasomotor. Peningkatan angiotensin II, meningkatkan aliran keluar simpatik dari pusat vasomotor, yang terbukti meningkatkan tekanan darah. Berlokasi pada permukaan presinaptik dari terminal simpatik terdapat beberapa variasi reseptor yang memacu atau menghambat pengeluaran norepinephine. Reseptor presinaptik α dan β mengatur feedback (umpan balik) positif maupun negatif untuk norephineprine yang berisi vesikel yang berlokasi dekat ujung saraf. Stimulasi dari reseptor presinaptik α (α2) mendesak suatu penghambatan negatif dari pengeluaran norephineprine. Sedangkan stimulasi reseptor presinaptik β memfasilitasi pengeluaran norephineprine lebih jauh.Stimulasi reseptor postsinaptik α (α1) dalam arteriola dan venules menghasilkan vasokonstriksi. Ada 2 tipe reseptor postsinaptik β (β1 dan β2). Stimulasi β1 di dalam hati manghasilkan meningkatkn laju dan kontraksilitas hati. Sedangkan, stimulasi β2 dalam arteri dan venules menyebabkan peristiwa vasodilatasi.

Kerusakan patologik pada beberapa componen saraf (terutama 4 komponen saraf utama : CNS, serat-serat saraf autonom, receptor adrenergic, dan baroreceptor) yang memperantarai tekanan darah arteri dapat dapat menyusun sustain elevasi dalam tekanan darah. Karena keempatnya sangat berhubungan secara fisiologis, kerusakan dari salah satu componen bisa merusak fungís normal yang lain, dan dikombinasikan dengan abnormalitas bisa menyebabkan hipertensi.

  1. Componen autoregulatory peripheral

Abnormalitas pada ginjal dan proses autoregulatory jaringan bisa menyebabkan hipertensi. Kenyataannya, sangat beralasan untuk mendukung bahwa individu yang develop statu defect ginjal untuk ekskresi sodium dan kemudian mereka mengatur ulang proses autoregulatory jaringan menjadi tekanan darah arteri yang lebih tinggi.

Secara normal, mekanisme volume-adaptive dari paru-paru bekerja dengan baik untuk menjaga status tekanan darah normal. Saat tekanan darah turun, paru-paru beradaptasi dengan retaining lebih banyak sodium dan air. Ini menyebabkan ekspansi volume plasma, yang meningkatkan tekanan darah. Sebaliknya, saat tekanan darah meningkat di atas normal, eksresi air dan sodium ditingkatkan, volume plasma dan kardiak output dikurangi, dan tekanan darah kembali ke normal.

Proses autoregulatory local berjalan untuk mempertahankan oksigenasi jaringan cukup. Saat permintaan oksigen rendah, dasar arteriolar dalam keadaan konstraksi. Resistensi perifer dipertahankan pada tingkat yang cukup untuk mengatur aliran darah cukup (aliran = tekanan/resistensi). Suatu peningkatan

dalam metabolisme permintaan memicu vasodilatasi arteriolar melalui autoregulasi. Kemudian resistensi vascular peripheral yang lebih rendah meningkatkan aliran darah dan penerimaan oksigen.

Suatu kerusakan inisial dalam mekanisme adaptif ginjal bisa menyebabkan ekspansi volume plasma dan meningkatkan aliran darah ke jaringan peripheral bahkan saat tekanan darah normal. Untuk mengimbangi peningkatan aliran darah, proses autoregulatory jaringan local akan menginduksi konstriksi arteriolar untuk meningkatkan resistensi perifer vaskular. Dalam waktu tersebut, suatu dinding arteri yang lebih tebal bisa terjadi, menghasilkan sebuah kenaikan penahan di resistensi peripheral vascular. Suatu peningkatan total resistensi peripheral vaskular adalah masalah yang dasar pada pasien dengan hipertensi primer.

  1. Mekanisme humoral

Paling tidak ada 3 kemungkinan abnormalitas humoral yang menyebabkan hipertensi primer pada beberapa individu. Salah satunya melibatkan sistem renin-agiotensin-aldosteron (RAS). Yang lanilla membawa kehadiran hormon natriuretik yang memodulasi transport sodium. Yang ketiga adalah berhubungan dengan rantai kemungkinan antara hiperinsulinemia dan hipertensi.

RAS sangat penting untuk regulasi sodium, potasium, dan keseimbangan cairan, dan itu secara signifikan berpengaruh pada kesehatan vaskular dan aktivitas sistem saraf simpatik. Tentu saja, semua factor tersebut berkontribusi terhadap tekanan darah homeostasis.

Di dalam paru-paru, renin disintesis dan didistribusi ke sel-sel juxtaglomerular, yang berlokasi terutama di media dari afferen arteriola ginjal. Factor-faktor umum yang diketahui mengontrol pengeluaran renin. Dapat dikelompokkan menjadi : kelompok intrarenal (seperti tekanan perfusi, katekolamine, angiotensin II), dan factor ektrarenal (seperti sodium, klorida, dan potasium).

Fungís dari sel-sel juxtaglomerular adalah sebagai baroreseptordalam arteriola afferen. Peningkatan tekanan perfusi mengakibatkan peningkatan sekresi renin. Juxtaglomerular apparatus juga terdiri dari kelompok sel-sel tubulus distal untuk mengumpulkan sebagai macula densa. Aliran darah dari sodium dan chloride melewati sel-sel mempengaruhi pengeluaran renin. Peningkatan sejumlah sodium dan khloride terjadi pada tubulus distal yang menstimulasi pengeluaran renin.

Angiotensin II mengatur penghambatan dari pengeluaran renin melalui mekanisme timbal balik negatif (feedback negative). Katekolamine meningkatkan peningkatan renin dengan menstimulasi sel-sel juxtaglomerular melalui statu aksi yang melibatkan formasi siklik AMP. Baik potasium maupun kalsium bisa berperan sebagai suatu peran langsung dalam pengeluaran renin. Penurunan serum potasium atau intracelular kalsium menstimulasi pengeluaran renin oleh sel-sel juxtaglomerular.

Di dalam darah, renin mengkatalis perubahan angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang kemudian menjadi angitensin II oleh angiotensin-converting enzim ( ACE ).Kegunaan Angiotensin II adalah efek biologi pada banyak macam jaringan mengikutiikatan spesifik receptor yang diklasifikasikan sebagai ATI atau subtipo AT2. Reseptor ATI berlokasi di otak, ginjal, miokardial, vaskular, dan jaringan adrenal. AT2 reseptor berlokasi di jaringan adrenal medullary, uterus, dan otak. Reseptor ATI memediasi mayoritas respon kritikal terhadap fungís kardiovaskular dan ginjal. Peningkatan sirkulasi angiotensin II (AT2) bisa menyebabkan elevasi tekanan darah melewati pressor dan efek-efek volume. Efek pressor dari AT2 termasuk vasokonstriksi langsung, menstimulasi katekolamine dari adrenal medula, dan memediasi peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik. AT2 juga menstimulasi pengeluaran aldosteron dari adrenal gland, yang menyebabkan retensi sodium dan cairan, dengan peningkatan resultan dalam volume plasmadan tekanan darah. Secara jelas, kerusakan pada RAS menyebabkan peningkatan dalam tiga atau lebih komponen yang bisa mengakibatkan hipertensi. Paru-paru bukan hanya organ yang terlibat dalam aktivasi RAS. Organ dan jaringan lain mempunyai kapasitas untuk memproduksi dan mensekresi secara biologi bentuk aktif dari peptide angiotensin.

Baik hati maupun otak terdiri dari sebuah RAS lokal. Di dalam hati, AT2 juga didegenerasi oleh enzime ke dua, angitensin I konvertase (human chymase), yang tidak diblock oleh ACE inhibisi. Aktivasi dari miokardial RAS menyebabkan meningkatnya kontraksilitas kardiak dan menstimulasi hipertropi kardiak. RAS otak mempunyai paling tidak 2 fungsi. AT2 memodulasi produksi dan pengeluaran hipotalamik dan hormon pituitari. AT2 juga enhances aliran keluar simpatetik dari medula oblongata.

Aktifitas biologi lokal AT peptide di jaringan peripheral bisa berperan sebagai suatu role penting dalam peningkatan resistensi vaskular yang sering diobeservasi individu yang hipertensif. Ada juga beberapa bukti bahwa AT memproduksi jaringan lokal yang berinteraksi dengan regulator humoral lain dan faktor pertumbuhan derivat endothelium untuk menstimulasi pertumbuhan dan metabolsime otot halus vaskular. Generasi/ pembentukan peptide AT secara in situ ini bisa mendasari pengembangan bentuk peningkatan resistensi vaskular dari hipertensi yang berhubungan dengan rendahnya aktivitas plasma renin. Komponen dari jaringan RAS bertanggungjawab terhadap adaptasi jangka panjang untuk hipertensi (sebagai contoh : hipertropi otot halus dari vessel darah, dan hipertropi glomerular).

Faktor humoral lain yang terlibat dalam pengembangan hipertensi primer adalah peningkatan konsentrasi hormon natriuretik. Proporsi peran dari hormon natriuretik adalah menghambat Na+/K+-ATPase dan interfere dengan transport sodium melalui membran sel. Itu sudah disugesti bahwa cacat bawaan dari kemampuan paru-paru untuk mengeliminasi sodium akan meningkatkan cairan ekstraselular dan volume plasma. Ini bisa menyebabkan suatu peningkatan kompensatori pada konsentrasi dari sirkulasi hormon natriuretik, yang akan meningkatkan ekskresi urindari air dan sodium. Hormon yang sama, juga mengeblock aktivitas transport pengeluaran sodium dari sel otot halus arteriolar. Peningkatan konsentrasi intraselular dari sodium akan mengultimasi terjadinya peningkatan tekanan vaskular dan hipertensi.

Resistensi insulin dan hiperinsulinemia terkait dengan pengembangan hipertensi. Kemungkinan-kemungkinan umum dimana hiperinsulinemia bisa mengakibatkan hipertensi include retensi sodium ginjal, enhanched aktivitas sistem saraf simpatetik, dan menginduksi hipertropi oto halus vaskular. Kemungkinan lain dimana insulin dapat meningkatkan tekanan darah adalah dengan meningkatkan konsentrasi kalsium intraselular, yang bisa mengakibatkan resistensi vaskular. Hiperinsulinemia sering dibarengi dengan kenaikan berat badan berlebih, tapi meskipun tidak ada dasar (nonebase) individu yang hipertensi ditunjukkan dengan adaya resistensi insulin, intoleran glukosa, dan hiperinsulinemic. Mekanisme dengan resistensi insulin dan hiperinsulinemia occur in hipertensi adalah tidak dikenal. Hiperinsulinemia juga berhubungan dengan hipertrigliseridemia, yang manghasilkan suatu penurunan konsentrasi kolesterol HDL.

  1. Mekanisme endotelial vaskular

Endothelium vaskular memainkan peran yang penting dalam mengatur tekanan pembuluh darah. Fungsi dari regulasi ini dimediasi/ diperantarai melewati suatu variasi dari substansi vasoaktif yang disintesis oleh sel endothelial termasuk prostasiklin, bradikinin, endothelium-derived relaxing factor (nitric oxide) , AT2, dan endothelin I.

Ini didukung bahwa defisiensi pada sintesis lokal dari vasodilatasi substansi seperti prostasiklin, bradikinin, dan nitirc oxide, atau suatu peningkatan produksi dari vasokonstriksi substansi seperti AT2 dan endothelin I yang berkontribusi terhadap patogenesis hipertensi, atherosklerosis, dan penyakit lainyya.

  1. Pengaruh yang berkenaan dengan makanan Sodium, Calcium, dan Potasium terhadap tekanan darah

Bukti bahwa kelebihan sodium berpengaruh terhadap pengembangan hipertensi diperoleh dari eksperimen klinik. Pada umumnya, pengambilan (intake) kadar garam yang tinggi diasosiasikan dengan prevalensi yang tinggi dari strok e dan hipertensi dan intake kadar garam garam yang rendah diasosiasikan dengan suatu prevalensi yang rendah dari hipertensi. Resktriksi dari intake garam dalam diet menurunkan tekanan darah pada kebanyakan kasus hipertensi (meskipun tidak semua kasus). Mekanisme excess sodium yang mengakibatkan hipertensi belum diketahui, tapi ada kaitannnya dengan hormon natriuretik yang didiskusikan sebelumnya. Peningkatan intake sodium bersama dengan cacar bawaan pada abilitas paru-paru untuk ekskresi sodium menyebabkan peningkatan substansial dalam sirkulasi hormon natriuretik. Seperti yang disebutkan sebelumnya, hormon natriuretik menginhibisi transport intraselular sodium dimana hal ini mengakibatkan peningkatan reaktivitas vaskular , dan konsekuensinya adalah meningkatnya tekanan darah.

H)PENCEGAHAN

Pencegahan

·Setelah umur 30 tahun, periksa tekanan darah setiap tahun.

·Jangan merokok/minum alcohol

·Kurangi berat badan bila berlebihan

·Lakukan latihan aerobic

·Pelajari cara-cara mengendalikan stres.

Penatalaksanaan

Di sini perlu diperhatikan beberapa faktor:

  1. Umur

Pada umumnya, makin muda penderita makin besar harapan keberhasilan operasi jangka panjang. Makin tua penderita makin besar risiko operasi dan komplikasi kardiovaskular karena aterosklerosis. Hasil operasi paling memuaskan bila riwayat hipertensi kurang dari 3 tahun sehingga nefrosklerosis pada sisi sakit sangat minim.

Terdapat perbedaan hipertensi renovaskular pada usia lanjut dan usia muda dalam beberapa hal: Pertama, stenosis pada arteri renalis semuanya hampir disebabkan oleh ateroma. Kedua, kejadian ateroma ini biasanya juga dijumpai pada tempat lain, misalnya di jantung atau di otak. Ketiga, tidak jelas apakah stenosis arteri renalis menyebabkan hipertensi atau kejadiannya merupakan koinsidental ataukah merupakan konsekuensi dari hipertensi. Pada beberapa pasien juga sering dijumpai azotemia. Albers dan Dustan mengatakan bahwa adanya azotemia pada usia lanjut yang tidak diketahui penyebabnya, biasanya menyertai suatu hipertensi renovaskular. Revaskularisasi dengan pembedahan dan angiplasti yang dilakukan, memberikan hasil yang baik dan mampu mengontrol tekanan darah, khususnya untuk usia muda tetapi tidak untuk usia lanjut.

  1. Sifat dan lokasi lesi

Pada beberapa penderita, lesi penyumbatan karena aterosklerosis dapat cepat bertambah atau menetap untuk beberapa tahun. Hanya sebagian kecil kasus, penyumbatan mengurang sesudah pengobatan terhadap lipidemia dan diet rendah lemak (hewani). Lesi penyumbatan cabang a. renalis yang terletak di pelvis umumnya tidak dioperasi. Bila infark korteks ginjal terlokalisasi dan sekresi renin bertambah, dilakukan nefrektomi di bagian tersebut. Pada infark multipel, penggobatan bersifat medikamentosa dan bila hanya satu sisi dilakukan nefrektomi.

  1. Derajat aterosklerosis

Hipertensi renovaskular pada orang tua dengan insufisiensi sedang atau berat pembuluh darah otak atau koroner, pengobatannya lebih baik konservatif. Bila kondisi pasien memburuk dan penyumbatannya lebih dari 90%, sebaiknya dilakukan nefrektomi. Operasi vaskular pada kasus tersebut membutuhkan waktu lebih lama dengan kemungkinan trombosis dalam graft, jahitan jelek, dan komplikasi pada pembuluh darah otak serta koroner.

  1. Lebar dan tebal korteks ginjal

Pengukuran dengan arteriografi ginjal secara serial. Pada orang dewasa, tebal korteks normal lebih besar dari 5,5–6 mm. Bila ukuran korteks ginjal kontralateral lebih kecil dari 5,5 mm, diduga merupakan akibat nefrosklerosis pada arteri arkuata dan a. interlobaris yang berarti bahwa hipertensinya cukup berat serta berlangsung sudah lama. Bila hal tersebut terjadi pada ginjal sisi sakit, berarti ada hipertensi esensial sebelumnya. Pada semua kasus tersebut, tindakan operasi tidak memperbaiki hipertensi.

  1. Fungsi ginjal

Pada kasus dengan klirens kreatinin

Apabila pengendalian tekanan darah merupakan fokus perhatian pada hipertensi renovaskular, maka pengobatan secara medikamentosa merupakan pilihan pertama dibandingkan dengan tindakan pembedahan atau angioplasti. Pada sejumlah pasien dengan azotemia, dikatakan bahwa tindakan revaskularisasi tidak hanya dapat memperlambat azotemia dari gagal ginjal, tetapi juga dapat mempercepat terjadinya gagal ginjal.

A. Non-farmakologis

Keberhasilan penanganan Hipertensi tidak hanya tergantung pada obat yang diberikan oleh dokter, tetapi diperlukan kerjasama dan upaya yang gigih dari penderita untuk mengatur pola hidup sehat, antara lain yaitu :

·Menurunkan berat badan

·Mengatur diet atau pola makan seperti rendah garam, rendah kolesterol dan lemak jenuh, meningkatkan konsumsi buah dan sayuran, tidak mengkonsumsi alcohol. Perubahan pola makan menjurus ke sajian siap santap yang mengandung lemak, protein, dan garam tinggi tapi rendah serat pangan (dietary fiber), membawa konsekuensi terhadap berkembangnya penyakit degeneratif (jantung, diabetes mellitus, aneka kanker, osteoporosis, dan hipertensi.

·Berhenti merokok

·Meningkatkan aktivitas fisik dengan olah raga teratur

·Mengkonsumsi obat sesuai dengan petunjuk dokter

·Melakukan pemeriksaan laboratorium dengan Panel Evaluasi Awal Hipertensi atau Panel Hidup Sehat dengan Hipertensi

B. Terapi Farmakologis

vDiuretic. Obat golongan ini bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh melalui urin. Dengan begitu kerja jantung menjadi lebih ringan. Contoh diuretic adalah hidroklortiazid (HCT) dan furosemide.

vPenghambat enzim pengubah angiotensin (ACE). Obat golongan ini akan melebarkan pembuluh darah sehingga kerja jantung lebih mudah dan effisien. Contohnya adalah captopril, dan lisinopril.

vAntagonis reseptor angiotensin II. Bekerja dengan cara yang sama dengan penghambat ACE. Contohnya, losartan dan irbesartan.

vBeta bloker. Bekerja dengan cara mengurangi detak jantung sehingga tekanan darah menjadi turun. Contohnya propanolol.

vAntagonis kalsium. Bekerja dengan cara mengurangi daya pompa jantung dengan menghambat kontraksi jantung. Contohnya nifedipin

Penatalaksanaan hipertensi yang berhasil merupakan gabungan dari kedua cara itu. Bahkan terapi dengan menggunakan obat dilakukan dengan mengkombinasikan beberapa golongan obat yang telah disebutkan diatas. Dalam pelaksanaan pengendalian terhadap hipertensi, terapi yang dijalankan, baik itu perubahan gaya hidup maupun dengan obat, dilakukan terus menerus seumur hidup. Oleh karenanya, biaya yang dikeluarkan, terutama untuk pembelian obat, menjadi sangat besar. Pemilihan untuk menggunakan obat generik yang bermutu, merupakan pilihan yang rasional dalam meminimalkan pengeluaran.

Penatalaksanaan kedaruratan hipertensi

Meskipun ada banyak pasien hipertensi kronik, kedaruratan hipertensi relative jarang terjadi. Tetapi kenaikan tekanan darah yang nyata atau tiba-tiba dapat secara serius mengancam nyawa dan diindikasikan penurunan tekanan darah yang segera. Yang paling sering, kedaruratan hipertensi terjadi pada pasien hipertensi berat dan sukar dikontrol atau pada mereka yang tiba-tiba menghentikan obat antihipertensinya.

Gambaran klinik dan patofisiologi

Kedaruratan hipertensi termasuk hipertensi yang berhubungan dengan kerusakan vascular *(disebut hipertensi maligna) dan hipertensi yang berhubungan dengan komplikasi hemodinamik seperti payah jantung, “stroke” atau neurisma disekans. Proses patologik yang mendasari hipertensi maligna adalah arteriopati progresif dengan peradangan dan nekrosis arteriola. Lesi vascular diginjal yang melepaskan rennin, kemudian akan merangsang produksi angiotensin dan aldosteron, yang akan lebih meningkatkan tekanan darah.

Ensefalopati hipertensif suatu gambaran klasik hipertensi maligna. Gambaran klinisnya terdiri dari nyeri kepala berat, kekacauan mental dan pengertian. Penglihatan kabur, mual dan muntah serta deficit neurologic fokal lazim terjadi. Jika tidak diobati maka sindroma ini bias berlanjut sampai konvulsi, stupor, koma dan bahkan kematian dalam waktu 12- 48 jam.

Pengobatan kedaruratan hipertensi

Penatalaksanaan umum kedaruratan hipertensi memerlukan pemantauan pasien dalam unit perawatan intensif dengan pencatatan tekanan darah arteri yang kontinu. Penting pengobatan yang cepat. Masukan dan pengeluaran cairan harus di mantau secara berhati-hati dan pengukuran berat badan setiap hari merupakan petunjuk volume cairan tubuh total selama pengobatan berlangsung. Biasanya pertama yang diberikam adalah diuretic. Karena mungkin bahwa fungsi gnjal pasien terancam maka harus dipilih obat yang dapat bekerja pada keadaan insufisiensi ginjal seperti furosemid. Dieresis yang nyata harus terjadi dalam 30 menit dan meningkatkan efek antihipertensi obat lain.

Dialysis mungkin pengganti penting bagi diuretic ansa Hele, terutama pada pasien oliguri dengan gagal ginjal. Dialysis dapat mengeluarkan kelebihan cairan, memperbaiki gangguan elektrolit dan mengontrol gejala uremi. Gejala uremi dapat membingungkan dalam mengevaluasi pasien ensefalopati hipertensif.

Obat antihipertensi parenteral berguna untuk cepat menuunkan tekanan darah ; dan secepat didapat pengontrolan tekanan darah yang layak maka pengobatan diganti dengan obat antihipertensi peroral,karena ini memungkinkan penatalaksanaan hipertensi jangka panjang yang lebih baik. Obat yang tersering dipakai untuk pengobtan kedaruratan hipertensi adalah vasodilator natrium nitriprusid dan diazoksid. Obat parenteral lain mungkinefektif meliputi labetalol,trimetafan,hidralazin,reserpin dan metildopa. Belakangan ini terapi nonparenteral dengan nifedipin sublingual atau dikumyah atau katopril,prazosin atau klonidin oral telah terbukti bermanfaat dalam terapi hipertensi berat.

BAB III

TERAPI PENGOBATAN

  1. TUJUAN TERAPI

Tujuan terapi hipertensi adalah menurunkan tekanan darah hingga taraf yang direkomendasikan. Tekanan darah yang disarankan oleh JNC7, yaitu :

1.Di bawah 140/90 mmHg

2.Untuk pasien dengan diabetes, di bawah 130/80 mmHg

3.Untuk pasien dengan penyakit gagal ginjal kronis, di bawah 130/80 mmHg (GFR 1,3 mg/dL untuk wanita dan > 1,5 mg/mL untuk pria, atau albuminuria > 300 mg/hari atau ≥ 200 mg/g kreatinin).

  1. SASARAN TERAPI

Secara umum, yang menjadi sasaran terapi pada penyakit hipertensi adalah tekanan darah. Berdasarkan mekanisme penurunan tekanan darah, sasaran terapi hipertensi secara khusus terbagi menjadi:

1. Sasaran pada tubula ginjal.Anti hipertensi yang bekerja di tubula ginjal bekerja dengan cara mendeplesi (mengosongkan) natrium tubuh dan menurunkan volume darah.

2. Sasaran pada saraf simpatis.Pengaruh anti hipertensi pada saraf simpatis yaitu menurunkan tahanan vaskuler perifer, menghambat fungsi jantung, dan meningkatkan pengumpulan vena di dalam pembuluh darah kapasitans.

3. Sasaran pada otot polos vaskuler.Anti hipertensi menurunkan tekanan darah dengan cara merelaksasi otot polos vaskular sehingga mendilatasi pembuluh darah resistans.

4. Sasaran pada angiotensinAnti hipertensi menyakat produksi angiotensin atau menghambat ikatan angiotensin dengan reseptornya, sehingga menyebabkan penurunan tahanan vaskular perifer dan volume darah.

Sasaran terapi hipertensi dengan menggunakan amlodipin adalah pada otot polos vaskular. Hal ini berdasarkan mekanisme kerja dari amlodipin, yaitu sebagai inhibitor influks kalsium (slow chanel blocker atau antagonis ion kalsium), dan menghambat masuknya ion-ion kalsium transmembran ke dalam jantung dan otot polos vaskular. Ion kalsium berperan dalam kontraksi otot polos. Jadi dengan terhambatnya pemasukan ion kalsium mengakibatkan otot polos vaskuler mengalami relaksasi. Dengan demikian menurunkan tahanan perifer dan menurunkan tekanan darah.

  1. STRATEGI PENGOBATAN

vNon-Farmakologis

    1. Diet Penyakit Darah Tinggi (Hipertensi), yakni diet kandungan garam (Sodium/Natrium), alcohol, makanan hewani berkaki empat, durian.
    2. Tingkatkan aktivitas
      Meningkatkan aktivitas dapat menurunkan resiko tekanan darah tinggi.

vFarmakologis
Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan kemungkinan seumur hidup

·Betablocker
Beta-blockers {Atenolol (Tenorim), Capoten (Captopril)}. Merupakan obat yang dipakai dalam upaya pengontrolan tekanan darah melalui proses memperlambat kerja jantung dan memperlebar (vasodilatasi) pembuluh darah. Jenis betabloker tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui mengidap gangguan pernapasan seperti asma bronkial. Contohnya Metoprolol, Propranolol dan Atenolol.

·Angiotensin II Reseptor Antagonist/AIIRA

(Cth: Losartan)Bekerja dengan bertindak sebagai antagonis reseptor angiotensin II yang terdapat di otot jantung, dinding pembuluh darah, sistem syaraf pusat, ginjal, anak ginjal, dan hepar sehingga efek sekresi aldosteron yang disebabkan oleh angiotensin II tidak terjadi. Akibatnya akan terjadi penurunan tekanan darah.Digunakan sebagai obat kombinasi dengan ACEI sebagai penurun TD yang efektif, karena kerja kedua kelas obat ini saling sinergi.

Proses terjadinya Hipertensi.

Angiotensin II adalah senyawa yang sangat potensial menyebabkan otot sepanjang saluran darah untuk berkontraksi dan menyebabkan penyempitan saluran darah. Saluran darah yang menyempit dapat meningkatkan tekanan dalam saluran tersebut dan dapat menyebabkan tekanan darah tinggi.

Angiotensin II dibuat dari angiotensin I di dalam darah oleh enzim pengubah angiotensin (ACE = angiotensin converting enzyme). Penghambat ACE mengobati dengan cara memperlambat/menghambat aktivitas dari enzim tersebut, sehingga akan menurunkan produksi dari angiotensin II.

Sebagai hasilnya, saluran darah menjadi lebar atau luas, dan teaknan darah berkurang. Tekanan darah yang lebih rendah membuat kerja jantung lebih mudah untuk memompa darah dan akan meningkatkan fungsi dari jantung yang lema. Selain itu juga membantu memperlambat proses kerusakan ginjal yang berkaitan dengan tekanan darah tinggi atau diabetes.

Sejak antagonis angiotensin II ditemukan beberapa tahun yang lalu, beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kegunaannya pada pasien hipertensi dan potensinya pada penderita gagal jantung. Obat antagonis angiotensin II yang telah resmi beredar di Indonesia adalah losartan, valsartan, irbesartan, candesartan dan telmisartan. Obat antagonis angiotensin Ii lainnya sedang dalam penelitian yaitu eprosartan, tasosartan dan zolasartan. Mekanisme dari antagonis angiotensin II :

Gambar 1. bagian dari sistem renin-angiotensin-aldosterone dan tempat obat antagonis angiotensin bekerja dan menginterupsi reseptor type 1 subtipe AT1 dari angiotensin II.

Antihipertensi dari obat antagonis angiotensin II tampak jelas setelah dua hingga empat minggu pemberian obat. Efek penurunan tekanan darah tertinggi dicapai dengan mengkombinasikan dengan diuretik dengan dosisi rendah seperti hidroklortiazid dan dengan meningkatkan dosis obat antagonis angiotensin II.

Anonim, 1977, Material Medika Indonesia,Jilid I, 47, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Anonim, 1979, Material Medika Indonesia, Jilid III, 49-52, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Anonim, 1986, Sediaan Galenik, 10-11, 16-17, 25-28, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 1991, Pedoman Pengujian dan Pengembangan Fitofarmaka, Penapisan Farmakologi, Pengujian Fitokimia dan Pengujian Klinik, 3-6, Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phyto Medica, Jakarta

Balch, Phyllis and Balch, James, 2000, Prescription for Nutritional Healing, 3rd ed., 94, Avery Publishing

Coll, J. C. dan Bowden, B. F. , 1986, The Aplication of Vacuum Liquid Chromatography to The Separation of Terpene Mixture, Volume 49, Nomer 5, 934-936, Journal of Natural Product

Dan Bensky, Steven, 2004, Chinese Herbal Medicine: Materia Medica, Third Edition

Dan Bensky, Steven Clavey, Erich Stoger, and Andrew Gamble, 2004, Chinese Herbal Medicine: Materia Medica, Third Edition

Gritter, dkk, 1991, Pengantar Kromatografi, 129-131, ITB Press, Bandung

Hostettmann, K. , Hostettmann, M. dan Marston, A. , 1995, Preparative Chromatography Techniques, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata, 33-34, ITB-Press, Bandung

Hartini, Y.S., 2001, Isolasi dan Identifikasi Senyawa Antimikroba dari Tumbuhan Lantana Camara L, Tesis,7-8, Fakultas Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta

Khopkar, 1990,Konsep Dasar Kimia Analitik, 102-104, UI Press, Jakarta

Sastrohamidjaja,H., 1985, Kromatografi, 310 - 319, Liberty, Yogyakarta

Stahl, E, 1969, Thin Layer Chromatografhy a Laboratory Handbook, 2th Ed, 97 - 101, Sphrger, Verlag, Berlin

Stahl, E., 1985, Analisis Obat secara Kromatografi dan Mikroskopi, 3-18, diterjemahkan oleh Padmawinata, K. dan Soediro, I., Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung

Soedibyo, M., 1998, Alam Sumber Kesehatan, 230 - 231, Balai Pustaka, Jakarta

Sudarsono, 1996, Tumbuhan Obat, 56, TPOT, UGM, Yogyakarta

Sulasmono, 1995, Kimia Farmasi analisis Instrumen II, 34,37,39, USD, Yogyakarta

Tilotson, Alan. Special Diets for Illness

Turner, R. A., 1965, Screening Methods In Pharmacology, 100-117, Academic Press, New York

Turner, Jack, 2004, Spice: The History of a Temptation, Vintage Books, p. xv. ISBN 0-375-70705-0.